Uji Tuntas Dari Segi Hukum (Legal Due Diligence) dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data objektif berkaitan dengan suatu rencana transaksi bisnis. Legal Due Diligence untuk selanjutnya merupakan kegiatan pemeriksaan secara seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh Konsultan Hukum terhadap suatu perusahaan atau obyek transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi atau fakta material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek transaksi. Menurut Prof. Felix Oentoeng Soebagjo, dalam transaksi terkait dengan pengambilalihan saham, aspek Legal Due-Diligence yang dilakukan dengan menganalisa aspek-aspek berikut :
1. Hambatan dan batasan yang ada atau yang mungkin timbul terhadap rencana pengambilalihan saham dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, anggaran dasar, perijinan, perjanjian dan perkara yang dihadapi ;
2. Akibat hukum dari pengambilalihan saham terhadap pihak-pihak yang bertransaksi ;
3. Struktur permodalan dan Pemegang Saham sebelum dan sesudah pengambilalihan saham dari perusahaan yang diambilalih yang menunjukan siapa yang menjadi pihak pengendali ;
4. Aktiva dan Passiva dari perusahaan yang diambilalih (apabila ada) ;
5. Tindakan korporasi dan persetujuan-persetujuan yang diperlukan untuk melaksanakan transaksi pengambilalihan saham ;
6. Keabsahan pemilikan saham oleh penjual dan pembebanan atas saham (bila ada) ; dan
7. Syarat dan ketentuan penting dalam perjanjian pengambilalihan saham.
Sedangkan dalam pasar modal, pada umumnya LDD dilakukan oleh konsultan hukum dalam rangka penawaran umum. Menurut Standar Profesi Konsultan Hukum Pasar Modal yang dikeluarkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal tertanggal 18 Februari 2005, due diligence adalah istilah yang digunakan untuk kegiatan pemeriksaan secara seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh konsultan hukum terhadap suatu perusahaan atau obyek transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi atau fakta material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek transaksi. Pemeriksaan dan penilaian yang dilakukan oleh konsultan hukum tersebut (LDD), merupakan suatu analisa hukum terhadap satu atau lebih dokumen perusahaan yang dilakukan untuk :
1. Memperoleh status hukum atau penjelasan hukum terhadap dokumen yang diaudit atau diperiksa ;
2. Memeriksakan legalitas suatu badan hukum/badan usaha ;
3. Memeriksa tingkat ketaatan suatu badan hukum/badan usaha ;
4. Memberikan pandangan hukum atau kepastian hukum dalam suatu kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan.
LDD tidak hanya berguna untuk kegiatan transaksi di Pasar Modal namun juga digunakan bagi transaksi di luar pasar modal, seperti akuisisi, pemberian kredit dan kebutuhan internal perusahaan itu sendiri. Oleh karenanya, LDD harus dilakukan secara teliti dan seksama dengan meliputi hal-hal seperti fisik perusahaan, kelengkapan dokumen, serta kondisi obyek transaksi. Sehubungan dengan proses LDD yang dibuat, terdapat beberapa hal penting berkaitan dengan dokumen yang harus diperhatikan.
Adapun dokumen-dokumen yang diperlukan dan harus diperhatikan oleh seorang konsultan hukum dalam proses LDD, adalah :
A. Anggaran Dasar
1. Anggaran dasar perusahaan beserta perubahan-perubahannya sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir, meliputi akta dalam bentuk notarial dan/atau akta/berita acara rapat dibawah tangan dan atau akta-akta dalam Berita Negara ;
2. Persetujuan dari serta bukti pelaporan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan sebelumnya Menteri Kehakiman) atas pendirian perusahaan serta perubahan-perubahan anggaran dasar perusahaan sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir ;
3. Bukti pendaftaran di Pengadilan Negeri atau Kantor Pendaftaran Perusahaan, atas akta anggaran dasar perusahaan sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir ;
4. Bukti pengumuman di Berita Negara atas anggaran dasar sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir.
B. Struktur Permodalan dan Pemegang Saham
1. Dokumen sebagaimana dimaksud pada Butir A tersebut di atas ;
2. Dokumen yang membuktikan penyetoran atas saham (antara lain tanda buku setor/transfer, kwitansi penerimaan, rekening koran) termasuk penyetoran yang menggunakan bentuk lain selain uang (antara lain akta inbreng) ;
3. Perjanjian-perjaniian pengalihan hak atas saham (jual-beli pewarisan hibah, penukaran saham, dan lain-lain) sejak perusahaan didirikan sampai dengan pengalihan terakhir ;
4. Bukti pemberitahuan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan sebelumnya Departemen Kehakiman) sehubungan dengan perubahan komposisi kepemillkan saham dan/atau susunan pemegang saham sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir ;
5. Bukti pendaftaran pada Pengadilan Negeri atau Kantor Pendaftaran Perusahaan mengenai komposisi kepemilikan saham dan/atau susunan pemegang saham sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir ;
6. Perjanjian gadai atas saham-saham dalam perusahaan, jika ada ;
7. Daftar Pemegang Saham dan Daftar Khusus ;
8. Sertifikat-sertifikat saham atau sertifikat-sertifikat kolektif saham jika ada ;
9. Perjanjian-perjanjian antar pemegang saham dan perjanjian-perjanjian antara pemegang saham dan/atau perusahaan dengan pihak ketiga jika ada, seperti perjanjian yang memberikan hak atau opsi untuk mengambil bagian atau untuk membeli atau mendapatkan saham-saham dalam perusahaan.
C. Direksi dan Komisaris
1. Dokumen yang memuat keputusan Pemegang Saham mengenai pengangkatan dan/atau pemberhentian anggota Direksi dan anggota Komisaris sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir ;
2. Bukti pemberitahuan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sehubungan dengan susunan Direksi dan Komisaris sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir ;
3. Bukti pendaftaran pada Pengadilan Negeri atau Kantor Pendaftaaran Perusahaan mengenai susunan Direksi dan Komisaris sejak perusahaan didirikan sampai dengan perubahan terakhir ;
4. Kartu identitas (Kartu Tanda Penduduk/KTP), Paspor, Surat Keterangan Berkewarganegaraan Negara Republik lndonesia (SKBNRI) dan NPWP dari anggota Direksi dan Komisaris sejak perusahaan didirikan sampai degan perubahan terakhir ;
D. Rapat Direksi, Rapat Komisaris, dan Rapat Umum Pemegang Saham
1. Notulen-notulen Rapat Direksi, Rapat Komisaris, dan Rapat Umum Pemegang Saham atas rapat-rapat yang diselenggarakan dalam kurun waktu 5 ( lima) tahun terakhir ;
2. Notulen-notulen rapat sejak perusahaan didirikan, khusus yang berhubungan dengan perubahan anggaran dasar dan pengalihan saham.
E. Keterangan Mengenai Pemegang Saham berbentuk Badan Hukum
(Dokumen-dokumen yang dibutuhkan adalah sama dengan dokumen-dokumen pada Limited LDD sebagaimana tercantum pada butir N dibawah ini)
F. lzin, Persetujuan, Pendaftaran, dan Keterangan izin-izin,
Persetujuan-persetujuan, tanda-tanda pendaftaran, dan surat-surat keterangan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, antala lain:
1. lzin Usaha (SIUP);
2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
3. Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
4. Surat Pemberitahuan Pengukuhan Kena Pajak (PKP);
5. Surat keterangan domisili Perusahaan;
6. lzin berdasarkan Undang-Undang Gangguan (HO);
7. lzin Mendirikan Bangunan (IMB);
8. lzin Penggunaan Bangunan (lPB) dan Kelayakan Menggunakan Bangunan (KMB);
9. Analisa mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) / Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), serta persetujuan atau pengesahan atas AMDAL atau UKL/UPL;
10. ljin-ijin lain yang dikeluarkan Departemen/lnslansi lain yang terkait dengan kegiatan usaha Perusahaan (antara lain namun tidak terbatas pada ijin yang dikeluarkan BKPM, Pemerintah Daerah, dll).
G. Kepemilikan dan Penguasaan atas Aset/Harta Kekayaan
1. Daftar aset ildak bergerak dan aset bergerak milik perusahaan ;
2. Dokumen yang membuktikan kepemilikan dan penguasaan perusahaan atas aset tidak bergerak, antara lain:
a. Sertifikat tanah ;
b. Bukti penguasaan tanah (anlara lain surat girik tanah, petuk Pajak, dll) ;
c. Akta Jual Beli tanah ;
d. Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah ;
e. Akta atau Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah ;
f. Dokumen pengurusan surat-surat tanah di kantor Badan Pertanahan (BPN) setempat.
3. Dokumen yang membuktikan kepemilikan dan penguasaan perusahaan atas asset bergerak, seperti:
a. Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), dalam hal kendaraan bermotor ;
b. Faktur pembelian, purchase order invoice atas peralatan atau mesin-mesin milik Perusahaan ;
c. Sertipikat saham atau sertipikat koletiif saham dan/atau Daftar Pemegang Saham darj perusahaan lain yang bersangkutan, dalam hal penyertaan atau pemilikan saham Dalam perusahaan lain ;
d. Bukti pendaftaran hak milik intelektual seperti merek ,hak cipta, dan hak Paten.
4. Daftar barang tidak bergerak dan barang bergerak yang disewa dan yang dipinjam pakai oleh perusahaan dari pihak lain, serta perjanjian-perjaniian yang mendasari sewa, sewa beli dan/atau pinjam pakai atas tersebut ;
5. Daftar barang tidak bergerak dan barang bergerak yang disewakan dan yang dipinjamkan oleh perusahaan kepada pihak lain, serta perjaniian-perjanjian yang mendasari penyewaan dan peminjaman tersebut ;
6. Dokumen pemberian jaminan atau akta pembebanan (antara lain Hak tanggungan, Gadai, fidusia) atas aset bergerak maupun tidak bergerak milik Perusahaan.
H. Asuransi
Polis asuransi atas asuransi-asuransiyang telah ditutup oleh perusahaan.
l. Ketenagakerjaan
1. Bukti lapor ketenagakerjaan ;
2. Kesepakatan Keria Bersama (KKB) / Peianjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan (PP) ;
3. Dokumen-dokumen sehubungan dengan penggunaan tenaga kerja asing, seperti:
a. Paspor ;
b. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) ;
c. Kartu lzin Tinggal Terbatas (KITAS) ;
d. Buku Pengawasan Orang Asing (BPOA) ;
e. lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) ;
f. Surat Keterangan Lapor Diri (SKLD) ;
g. Surat Tanda Melapor (STM) ;
h. Lapor Keberadaan/Kedatangan Tenaga Kerja Asing (LK2TKA) ;
i. Surat Keterangan Penduduk Pendatang Sementara (SKPPS) ;
j. Surat Keterangan Tempat Tinggal Penduduk WNA/Sementara (SKTTPS ).
4. Bukti keikutsertaan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ;
5. Program dana pensiun untuk karyawan ;
6. lzin-izin khusus di bidang ketenagakerjaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang seperti izin untuk mempekerjakan karyawan di malam hari, mempekerjakan expatriat, dsb.
J. Dokumen Kredit/Dokumen Pembiayaan dan Dokumen Jaminan
1. Dokumen kredit dan dokumen pembiayaan yang mengikat perusahaan terhadap pihak lain/kreditur (beserta lampiran dan perpanjangannya), seperti perjanjian kredit perjanjian pembiayaan bonds, notes, dll ;
2. Dokumen penjaminan, antara lain mengenai pemberian jaminan kepada dan untuk kepentingan pihak lain/kreditur (seperti hak tanggungan, jaminan fidusia gadai, pengalihan hak) ;
3. Persetujuan korporasi atas setiap kredit atau pembiayaan yang diperoleh atau diterima oleh perusahaan, serta atas pemberian jaminan kepada dan untuk kepentingan pihak lain/kreditur ;
4. Surat-menyurat atau dokumentasi antara perusahaan dengan pihak lain mengenai sengketa atau keadaan wanprestasi yang berhubungan dengan atau berdasarkan dokumen-dokumen tersebut di atas.
K. Perjaniian dengan Pihak Ketiga selain dalam rangka Pembiayaan
1. Perjanjian dan kontrak (apabila ada) yang dibuat dan diadakan oleh perusahaan dengan pihak lain selain pemberi fasilitas pembiayaan (termasuk dengan permerintah dan dengan pihak terafiliasi), seperti:
a. Perjanjian konstruksi (engineering, procurement, construction-EPC) ;
b. Perjanjian sub konstruksi ;
c. Perjanjian pemasokan bahan baku ;
d. Perjaniian usaha Patungan ;
e. Perjanjian lisensi ;
f. Perjanjian bantuan teknik ;
g. Perjanjian bantuan manajemen ;
h. Perjaniian Pengelolaan ;
i. Perjanjian jual beli ;
j. Perjanjian sewa ;
k. Perjanjian anjak Piutang.
2. Persetujuan korporasi yang diperlukan untuk atau dalam rangka membuat atau mengadakan setiap perjanjian atau kontrak sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas ;
3. Surat menyurat antara perusahaan dengan pihak lain mengenai sengketa atau keadaan wanprestasi yang berhubungan dengan atau berdasarkan dokumen-dokumen tersebut di atas.
L. Perkara Pengadilan/Arbitrase
1. lnformasi dan dokumen mengenai atau sehubungan dengan perkara-perkara (perdata, pidana, niaga, administrasi, pajak, hubungan industrial, dan sebagainya), jika ada, yang melibatkan perusahaan, direktur, komisaris, dan/atau pemegang saham perusahaan;
2. lnformasi dan dokumen mengenai atau sehubungan dengan penyelesaian, jika ada, atas perkara-perkara sebagaimana dimaksud pada angka L.1 diatas;
3. Putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan dan/atau badan arbitrase, jika ada, dimana perusahaan, direktur, komisaris, dan/atau pemegang saham perusahaan merupakan pihak yang berperkara dan/atau terlibat di dalamnya.
M. Laporan Keuangan
Laporan keuangan perusahaan selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yang lelah diaudit oleh akuntan publik serta management letter yang di keluarkan oleh auditor.
INDONESIAN LEGAL ISSUES
An opinion and article about legal issues in Indonesia, for law enforcement and justice...
Selasa, 03 Mei 2011
Rabu, 06 April 2011
Upaya Penegakkan Hukum, Ditengah Krisis Moralitas Penegak Hukum
I. PENDAHULUAN
Sudah menjadi rahasia umum ditengah-tengah masyarakat Indonesia bagaimana karut-marutnya kondisi penegakkan hukum (law enforcement) di negara ini, banyak faktor yang menjadi penyebab dari buruknya sistem peradilan di Indonesia, namun yang paling utama adalah terkait permasalahan rendahnya moralitas penegak hukum kita di hampir seluruh lembaga dan aparat penegak hukum yang ada mulai dari Kepolisian, Kejaksaan maupun Kehakiman bahkan hingga profesi-profesi lainnya yang bersentuhan dengan hukum semisal Advokat, Panitera maupun Notaris. Keboborokan moral penegak hukum itulah yang membuka pintu lebar-lebar terhadap praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di negara ini sehingga seakan-akan menjadi sesuatu yang mendarah daging dan membudaya, hal mana telah menggerogoti pilar-pilar dari tegaknya hukum atau supremasi hukum di Indonesia. Dalam berbagai penelitian, sebagaimana banyak dilansir media massa, persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) untuk tahun 2006, di satu sisi peringkat korupsi Indonesia semakin “baik” dengan nilai indeks 2,4 meningkat dari tahun sebelumnya, 2,2. Nilai indeks ini juga ikut mendongkrak urutan Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005 menjadi ketujuh (dari 163 negara) pada tahun itu.
Namun, fakta yang terjadi saat ini terlihat sangat bertolak belakang dengan data-data diatas, dimana sistem peradilan di Indonesia dinilai masih berantakan dengan aroma korupsi yang tercium mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan pengadilan, yang menjadikan situasi negara ini benar-benar dalam keadaan 'darurat hukum'. Sistem hukum yang karut-marut ini telah dimulai pada prose pengadilan sampai pada level eksekusi, seperti halnya berbagai permasalahan yang sempat terekspose oleh media baru-baru ini antara lain kasus joki narapidana, transaksi seks dan narkoba dibalik bilik penjara, serta fasilitas mewah yang didapatkan oleh napi berduit di dalam LAPAS, dan berbagai kasus lainnya sesungguhnya telah sangat melukai rasa keadilan masyarakat sekaligus menunjukkan pula betapa rendahnya moralitas aparat penegak hukum kita. Masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana sepak terjang seorang Artalyta Suryani (Ayin) saat ia melecehkan hukum, dimana Ayin merupakan sosok yang sangat “luar biasa”, ia bahkan dapat mengatur skenario kasus yang dihadapinya dengan para pihak petinggi Gedung Bundar, hal tersebut kita ketahui saat permufakatan jahatnya terungkap ke publik melalui rekaman telepon pembicaraannya yang diperdengarkan di sidang MK, Juni 2008 lalu.
Namun apa yang terjadi kemudian sungguh sangat ironis dan mengiris hati rakyat, dimana seorang Ayin yang mendekam di penjara dengan penuh kemewahan karena menyuap aparat penegak hukum, ternyata tetap dinyatakan pantas untuk mendapatkan pembebasan bersyarat pada 28 Januari 2011 dengan alasan prosedural yang debatable, bahwa keputusan tersebut diberikan karena Ayin dianggap telah berkelakuan baik serta aktif dalam kegiatan pembinaan lapas, dan telah menjalankan 2/3 masa tahanannya sejak Maret 2008, sehingga keputusan tersebut dianggap sesuai dengan prosedur yang berlaku. Belum cukup dengan kasus Ayin, kita dihadapkan dengan fakta-fakta yang mengguncang seluruh institusi penegak hukum dan berbagai lembaga negara yang ada mulai dari Dinas Perpajakan, Keimigrasian bahkan hingga Tim Pemberantas Mafia Hukum bentukan Presiden SBY melalui aksi-aksi Super Gayus (Gayus Tambunan) yang telah memporak-porandakan dan mencoreng muka aparat penegak hukum dan pemerintahan SBY-Boediono, hanya saja sampai detik ini baik aparat penegak hukum maupun pemerintah masih bertahan dengan muka tebal dan “make up”-nya yang seolah-olah dengan itu berusaha menutupi rendahnya moralitas mereka yang sesungguhnya, sungguh ironis memang.
Menyoroti permasalahan Ayin dan Gayus, sebenarnya bukan sekali ini saja penegak hukum menggunakan dasar argumen peraturan untuk menguntungkan para pelaku kejahatan 'kakap', kita tentu masih ingat pro dan kontra pemberian remisi kepada sejumlah koruptor kakap yang kesemuanya itu hanya dilandaskan pada argumentasi bahwa pemberian remisi telah diatur di dalam UU No.12 Tahun 1995 Pasal 14 ayat (1) butir i, teknis lebih lanjut tentang remisi dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Mekanisme pemberian remisi yang tidak jelas tentu tidak akan mampu diharapkan menimbulkan efek jera dari pelaku kejahatan. Apalagi, mengingat mekanisme pemberian remisi, pembebasan bersyarat, pemberian izin keluar rutan (rumah tahanan) dan proses hukum lain masih terbuka celah penyalahgunaan yang begitu lebar dengan praktik korupsi dan kongkalikong sejenisnya, tidak terkecuali bagi mereka para tahanan yang berada dalam Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (LP). Sedangkan kita semua mengerti bahwa penjara/LP sendiri diciptakan bukan sebagai sarana untuk balas dendam semata, tetapi penjara juga diciptakan sebagai tempat untuk membuat orang merasa menyesal dan jera serta memahami kesalahan yang ia buat. Oleh karenanya, apa bedanya penjara dengan tidak, jika semua keistimewaan di luar tembok penjara masih leluasa ia nikmati??. Dengan memahami kondisi tersebut diatas nampaknya memang rancangan 'pedang hukum' di negeri ini dirancang sebagai pedang yang tajam ke bawah akan tetapi tumpul ketika diarahkan ke atas, hal ini lah yang menyebabkan tidak efektifnya sistem peradilan di Indonesia, yang harus kita benahi bersama.
II. PEMBAHASAN
A. Pendidikan hukum berbasis moralitas dan sipiritualitas
Permasalahan-permasalahan yang diungkapkan dalam pendahuluan merupakan suatu “pekerjaan rumah” bagi kita, khususnya pemerintah untuk menyelesaikannya, dimana salah satu cara penyelesaian yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pelatihan atau pendidikan hukum yang berbasis kepada moralitas dan spiritualitas bagi aparat penegak hukum. Karena apabila ditelusuri pembentukkan watak, kemampuan, dan kepribadian penegak hukum itu, akan sampai pada titik tertentu, yakni pendidikan hukum dimana aparat penegak hukum itu menimba ilmu pengetahuan hukum, sehingga penting untuk melakukan pengkajian mengenai sejauh mana sistem pendidikan hukum di fakultas hukum itu mempengaruhi kepribadian, watak, dan kemampuan seseorang penegak hukum. Namun, yang menjadi persoalan adalah bahwa sistem pendidikan hukum di fakultas hukum saat ini masih kurang berbasis moralitas dan spiritualitas yang bertumpu pada agama dan etika, bahkan sebagian isi dari sistem pendidikan hukum yang ada masih sarat dengan aspek sekular dan liberal. Kondisi ini dapat dipahami mengingat sistem pendidikan hukum di Indonesia banyak menyerap dan mengadopsi sistem pendidikan hukum barat, terutama Belanda, yang memang sekuler dan liberal sebagai konsekuensi logis dari penjajahan Belanda di Indonesia. Karakteristik hukum yang demikian sesungguhnya sama sekali tidak sesuai dengn kondisi masyarakat Indonesia yang religius, dimana agama menjadi acuan penting dalam menjalani kehidupan, terutama menentukan sikap terhadap lingkungannya.
Praktek sekulerisme dan liberalisme di Indonesia sedikit banyak telah menjadi penyebab dari rusaknya moralitas para penegak hukum semenjak bangku pendidikan mereka, dimana dalam dunia pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, sampai tingkat Universitas diatur oleh Departemen Pendidikan, sedangkan untuk sekolah seperti Madrasah, Ibtidaiyah, dan IAIN diatur oleh Departemen Keagamaan, dari sini dapat kita lihat bahwa dunia pendidikan di negara ini berbasis kepada sekulerisme yang memisahkan akademis antara nilai-nilai sosialitas dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, andai pemerintah mengerti bahwasanya yang membentuk baik atau buruknya moralitas seseorang adalah tinggi atau rendahnya tingkat spiritualitasnya, sehingga tidaklah dapat dipisahkan antara pendidikan moralitas dan spiritualitas. Seharusnya pemerintah meleburkan kedua Departemen tersebut terkait kewenangannya dalam mengatur pendidikan sehingga membentuk suatu kurikulum baru yang terpadu dan sistematis, dengan memadukan pendidikan sosialitas akademis dan moralitas spiritual. Oleh karena itu, penting untuk dipertimbangkan bagaimana membangun pendidikan hukum yang berbasis moralitas spiritual di tanah air ini, dengan tujuannya agar proses pendidikan hukum yang berlangsung sejalan dengan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, serta lulusannya selain menguasai pengetahuan hukum secara teoritis dan profesi, juga memahami kedudukan dan perannya sebagai makhluk yang bermoralitas dan berspiritualitas dengan taat menunaikan ajaran agama-Nya dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya, terutama tindak kriminal dan praktek korupsi.
Pada prinsipnya, pendidikan hukum yang berbasis moralitas-spiritualitas mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, baik di tingkat konstitusi maupun undang-undang, dimana dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) 1945, telah mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa, baik dalam Pembukaan maupun pasal-pasal. Dalam hal pendidikan, UUD 1945 juga telah menentukan bahwa pendidikan sangat erat dengan moralitas, hal ini dapat dikaji dari rumusan Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang". Selain itu, salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yang memuat cita-cita luhur dan filosofis adalah "bahwa negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab", diatur lebih lanjut dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Tuhan yang dimaksud jika mengacu kepada Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 adalah Allah SWT, dengan teks lengkapnya sebagai berikut “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Dengan demikian, seharusnya negara membuka ruang dalam dunia pendidikan bagi ekspansi yang berbasis moralitas, agama, dan nilai-nilai spiritual khususnya dalam hal ini agama Islam, ke dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk juga pendidikan. Pemisahan nilai-nilai profetik-spritual dari urusan duniawi justru hanya akan memperburuk krisis moralitas penegak hukum dalam sistem peradilan kita.
B. Penerapan sistem pembuktian pidana sebagai suatu solusi
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwasanya korupsi menjadi satu dari sekian permasalahan hukum yang selalu menggerogoti moralitas aparat penegak hukum. Potret korupsi di Indonesia mungkin menjadi salah satu yang terburuk dalam sejarah peradaban modern, bahkan telah mencapai titik nadir yang tidak dapat ditolerir, begitu mengakar dan sistematis. Kerugian negara atas menjamurnya praktek korupsi sudah tidak terhitung lagi. Soemitro Djoyohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara 1989-1993 sebesar 30% dan hasil penelitian World Bank kebocoran dana pembangunan mencapai 45%. (Tempo, 22 Januari 1994). Sedangkan berdasarkan penelitian Transparency International (TI) selama lima (5) tahun berturut-¬turut dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, Indonesia selalu menduduki posisi 10 besar negara paling korup di dunia. (Transparency International, Corruption Perception, Index 1995, 1996, 1997, 1998, 1999 dan 2000). Begitu buruknya potret korupsi itu, tidak sedikit pihak – antara lain adalah Bung Hatta – yang menilai korupsi telah membudaya, penilaian itu mengemuka justru ketika korupsi belum separah seperti sekarang ini dan ketika kue pembangunan mulai tumbuh membesar. Ketika kue pembangunan mampu diperbesar oleh rezim Orde Baru dengan pengorbanan yang luar biasa besar dari rakyat dan penghisapan sumberdaya alam yang gila-gilaan, maka korupsi nampak demikian nyata. Konon keberadaannya dimitoskan sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan diperlukan (necessary evil). Oleh karenanya korupsi menjadi salah satu agenda penting yang harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia.
Sesungguhnya tidak akan terjadi separah itu kondisi korupsi di Indonesia jika kisah Hakim La Pagala Nene’Mallomo dari Sindereng (Sulsel) pada abad XVI dijadikan pedoman dalam memberantas korupsi. Hakim tersebut menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang dipersalahkan mencuri bajak tua milik seorang warga kerajaan. Ketika ditanya oleh seorang yang menghadiri sidang “Apakah Tuanku menilai sama nyawa putranya dengan kayu lapuk itu ?” Beliau menjawab singkat “ Ade’e temmaakeana ” temmakke eppo” (“Adat/hukum tak mengenal anak dan tak megenal cucu”). Oleh karena kisah hakim tersebut tidak dijadikan pedoman, maka pada perkembangannya sekarang terus terjadi berbagai bentuk praktik korupsi yang melibatkan para pengusaha dan pebisnis, biasanya dalam bentuk suap menyuap di bidang perizinan, pajak, peradilan, pengadaan barang dan jasa, pungutan liar, dan bea cukai. Di bidang pengadaan barang dan jasa, korupsi terjadi dalam bentuk pemberian komisi sebelum dan sesudah tender serta pada saat termin pembayaran. Meskipun sekarang sudah ada Keppres 80/2003, yang mengatur agar suap-menyuap seharusnya tidak lagi terjadi, namun praktik tersebut masih saja berlangsung, termasuk “tender arisan”. Biasanya bentuk korupsi yang dilakukan antara pengusaha dan profesional (akuntan dan pengacara) itu masuk kategori “bribery” (penyuapan). Korupsi di dalam tubuh pemerintahan yang melibatkan pengusaha dan profesional itu jumlahnya sangat banyak dan mencakup kerugian negara yang sangat besar (grand corruption).
Grand corruption yang berlangsung di era Orde Baru, mungkin mudah dicari kambing hitamnya seiring dengan kemajuan ekonomi, otoritarianisme politik, dan lemahnya kontrol masyarakat. Namun, ironisnya, memasuki era reformasi, kualitas maupun kuantitas masih menunjukkan hal yang tak jauh berbeda. Pergeserannya mungkin hanya dalam bentuk penampilannya saja, seperti tercerminkan pada bentuk-bentuk berikut : korupsi ramai-ramai (berjamaah) seperti dilakukan anggota DPRD dalam pemanfaatan dana APBD; korupsi pada pengadaan barang dan jasa serta penunjukkan rekanan seperti terjadi di KPU; korupsi di lembaga legislatif dan lembaga lain yang mampu mendesakkan kepentingannya secara efektif. Beberapa kelompok kepentingan dan LSM juga memanfaatkan keadaan ini dan disinyalir terlibat permainan korupsi dan praktik kotor lainnya yang merugikan negara. Hal serupa juga dialami kalangan akademisi yang semakin vokal dan gede-gedean suara, sehingga muncul anekdot : “menjual pendapat jadi pendapatan”; Korupsi melalui suatu kebijakan dimana hasil korupsi ditampilkan secara rapi untuk kepentingan yang mulia seperti pembangunan rumah ibadah, santunan fakir miskin sehingga korupsinya tersebut menjadi pembenar karena sebagai jalan pemerataan seperti terjadi dalam fenomena dana non budgeter; atau (mungkin) korupsi pada dunia maya yang belum mendapatkan penanganan maksimal, yang dilakukan melalui proses komputerisasi yang canggih (memasukan, merubah, bahkan menciptakan data-data baru) sehingga memperkaya diri dan orang lain secara melawan hukum dan merugikan negara (cyber crime).
Kesemua bentuk tindak pidana diatas sejatinya bermuara pada satu tindak pidana, yakni tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat bersembunyi dan sangat sulit untuk dibuktikan, kesulitan pembuktian tindak pidana korupsi merupakan hambatan dalam proses pengungkapan terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri. Sehingga, dibutuhkan suatu mekanisme pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dikenal sebagai sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik merupakan mekanisme yang dianggap dapat menjadi solusi untuk mengungkap tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik didefinisikan sebagai suatu mekanisme pembuktian dimana pihak yang dianggap bersalah yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Mekanisme pembuktian terbalik sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang benar-benar baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Mekanisme ini telah disebutkan dalam beberapa kebijakan legislasi yaitu UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No.15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Khusus untuk kebijakan legislasi yang mengatur tentang korupsi dan suap, mekanisme ini diatur dalam UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi walaupun sejak UU No.5 tahun 1960 dan UU No.3 tahun 1971 telah menyebutkan mengenai sistem pembuktian terbalik. Pada dasarnya, dalam setiap pemeriksaan di persidangan untuk kasus korupsi maupun suap terdakwa diberi hak (kesempatan) untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik merupakan suatu kewajiban bagi terdakwa penerima gratifikasi 10 juta rupiah atau lebih dan untuk membuktikan harta benda yang belum didakwakan bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Kebijakan legislasi yang telah diatur sedemikian rupa tidak serupa pada tatanan aplikatifnya. Sistem pembuktian terbalik hingga saat ini belum pernah diterapkan secara menyeluruh dan efektif oleh para aparat penegak hukum baik dalam kasus tindak pidana korupsi maupun suap karena memang pelaksanaannya masih tergantung pada wewenang hakim untuk menerapkannya atau tidak dalam persidangan, bahkan dalam perkara mafia pajak Gayus Tambunan pun, meskipun telah di instruksikan oleh Presiden RI nyatanya pelaksanaannya masih belum atau tidak diterapkan sepenuhnya oleh hakim.
C. Aspek efektifitas dalam sistem penerapan eksekusi pidana
Satu hal yang mungkin terkadang sering kali luput dari banyak pengamatan orang adalah proses eksekusi pidana atau pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan sebagai suatu vonis hakim atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, apa yang menjadi fakta dari rendahnya moralitas aparat penegak hukum dalam perkara Ayin dan Gayus serta beberapa pelaku tindak pidana lainnya yang dengan mudah keluar masuk rumah tahanan atau penjara serta mendapatkan fasilitas yang mewah layaknya hotel berbintang 5 (lima) telah menandakan bobroknya mentalitas dan moralitas aparat penegak hukum kita. Oleh karenanya, dalam menjaga eksistensi berbagai lembaga negara, terkait pemberantasan korupsi, termasuk didalamnya lembaga pemasyarakatan (LP), maka perlu dicermati dan didiskusikan akan keberadaan konsep penjara selama ini. Karena sudah menjadi rahasia umum, kalau penjara selama ini telah menjadi tempat nyaman untuk merencanakan, mengatur, dan menjalankan berbagai tindakan kejahatan bagi mereka para pelaku kejahatan. Kondisi seperti itu tentunya menjadi bagian dari tidak efektifnya penjara sebagai tempat yang bisa memberikan efek jera bagi para penghuninya. Oleh karena itu, konsep “eksekutorial” perlu diketengahkan untuk menjadi bagian dalam memberantas kejahatan, termasuk korupsi.
Tekait hal itu, terdapat tiga ukuran yang harus diperhatikan sekaligus menjadi keuntungan yang bisa didapatkan melalui konsep eksekutorial ini, yaitu:
(1) Efisien, dalam arti tindakan jitu/tepat dalam membasmi para koruptor khususnya, karena langsung dieksekusi seperti diberlakukannya hukum potong tangan dan atau hukuman mati terhadap para koruptor tersebut dengan disaksikan masyarakat luas (misalnya di Monas atau di alun-alun tiap daerah) serta diwajibkan untuk diliput oleh media massa, baik cetak maupun elektronik ;
(2) Murah, dalam arti dapat memangkas biaya besar yang selama ini dijalankan dalam konsep penjara. Dapat dibayangkan, pemberian jatah makan kepada para tahanan, jika sehari Rp 10.000,- untuk 3x makan, maka berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sekian banyak tahanan per harinya. Sebaliknya, tentunya akan terjadi penghematan yang besar dari hal hilangnya pemberian makan ini karena dilakukannya konsep langung eksekusi ;
(3) Efektif, karena dengan konsep eksekutorial dapat memberi efek jera, baik kepada para pelaku kejahatan tersebut sekaligus menjadi upaya pencegahan terhadap kejahatan yang belum dilakukan oleh siapapun.
Begitu pula, dalam tataran perbandingan hak asasi manusia (HAM), konsep eksekutorial bukan tidak mungkin memberikan penjunjungan yang tinggi akan nilai-nilai HAM, bahkan lebih baik daripada yang diberikan oleh konsep konvensional atau penjara selama ini. Sebagai gambaran, seseorang yang bersalah karena kejahatan yang dilakukannya, kepadanya dapat dilakukan eksekusi yang lebih cepat ketika putusan pengadilan menyatakannya bersalah, sehingga dia tidak perlu mengalami hukuman ganda (double punishment) karena menjalani masa tahanan/penjara yang tidak hanya merugikan dia sendiri, tapi secara psikologis bisa jadi merugikan istri, anak, keluarga atau saudaranya, seperti tidak bisa secara maksimal memberikan nafkah atau kebutuhan lahir batin, baik untuk istri, anak, keluarga maupun saudaranya tersebut. Oleh karena itu, suatu keniscayaan perilaku korupsi dan bentuk kriminalitas lainnya, baik dalam tataran ekonomi, politik, sosial, dan budaya, atau penyakit-penyakit masyarakat lainnya, insya Allah dapat diatasi dengan upaya-upaya melalui taubat nasional dengan cara revolusi fungsional, yaitu satu tindakan perubahan secara cepat dan mendasar melalui kemampuan tiap-tiap indvidu yaitu atas dasar kapasitas dan otoritas yang dimilikinya.
III. PENUTUP
Dengan menyadari kondisi saat ini, dimana kita berada ditengah-tengah krisis moralitas aparat penegak hukum, maka kita perlukan suatu upaya penegakan hukum dengan cara-cara yang extraordinary atau luar biasa. Sebagaimana yang diajabarkan diatas, cara-cara yang dimaksud dapat ditempuh sebagaimana berikut :
1. Merubah atau mengganti penerapan hukum kolonial Belanda beserta sistem hukum dan HAM-nya sekaligus, dengan sistem hukum dan HAM-nya yang sesuai dengan Pancasila, sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila ke-3 “Persatuan Indonesia”, serta ketentuan :
UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik;
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar;
(3) Negara Indonesia adalah Negara hukum;
dan UUD 1945 Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota Negara;
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.
Makna yang terdalam dari perubahan ini adalah mengacu kepada sila ke-1 Pancasila kemudian dikuatkan oleh Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Tuhan yang dimaksud jika menurut Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 adalah Allah Swt. Adapun Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) adalah:
Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” ;
UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Jadi, konsekuensi logisnya Negara Republik Indonesia harus mau dan rela diatur oleh hukum-hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw., serta dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan menurut selera para penguasa yang sedang berkuasa dan juga harus menjaga keutuhan NKRI sebagaimana perintah sila ke-3 Pancasila.
2. Merubah atau mengganti penerapan sistem demokrasi liberal yang sekarang berlangsung dengan memberlakukan sistem demokrasi yang berdasarkan musyawarah, mufakat, dan melalui sistem perwakilan sesuai dengan Pancasila, sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, dan UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, serta berdasarkan kepada Pasal 28 yakni, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
3. Merubah dan mengganti sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku selama ini dengan sistem ekonomi-berbagi (sharing-economy) sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), yaitu :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
4. Merubah atau mengganti sistem pendidikan yang bersifat sekularisme, yaitu yang memisahkan kehidupan dunia dengan agama, dimana selama ini jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA, dan Universitas berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional dengan orientasi kepada urusan dunia saja. Sementara di sisi lain jenjang pendidkan mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan IAIN atau madrasah pada umumnya berada di bawah koordinasi Departemen Agama dengan orientasinya lebih kepada urusan akhirat. Kondisonal sistem pendidikan ini harus diubah atau diganti sebagaimana UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) dan (5), yaitu :
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Jadi, jelas kalau sistem pendidikan mesti mengintegrasikan antara keimanan dan ketakwaan dengan kecerdasan serta keterampilan dan keberanian watak sebagai watak bangsa yang bermartabat. Untuk terkondisikannya suasana pendidikan yang kondusif sehingga berlaku pendidikan yang tidak sekular, maka perlu diambil kebijakan oleh Presiden, yaitu menyatukan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan atau setidak-tidaknya Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Agama untuk menyatukan kurikulum yang berasal dari pendidikan umum dikombinasikan dengan sebaik-baiknya, yang diambil dari kurikulum yang full mengajarkan agama kepada setiap pelajaran pada tiap-tiap tingkatannya. Juga perlu dibuat kebijakan nasional yang mencakup siaran TV antara pukul 19.00-21.00 harus dikondisikan menjadi jam wajib belajar atau pada jam tersebut seluruh siaran TV diwajibkan membuat program yang mengajarkan 5 hal penting kepada seluruh rakyat Indonesia:
(1) Pelajaran Al Quran dan hadis Nabi Saw. serta ajaran-ajaran agama lainnya yang diakui di Indonesia dengan segala porsinya.
(2) Pelajaran Matematika
(3) Pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Arab di samping Bahasa Indonesia
(4) Pelajaran tentang komputer dan informasi
(5) Pelajaran tentang Sejarah, terutama sejarah para nabi dan tokoh pahlawan Indonesia serta tokoh dunia yang dianggap perlu agar bangsa Indonesia mendapatkan jalan yang lurus sebagaimana jalan dari orang-orang yang telah Allah beri nikmat dalam menjalankan hidupnya. Hal ini sesuai yang selalu umat Islam Indonesia mengamalkannya karena diajarkan dalam QS Al Fatihah ayat 6 dan 7, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
5. Merubah atau mengganti tatanan budaya hedonisme dan pragmatisme serta budaya koruptif dengan sistem budaya atau tata gaul yang didasari kepada sila ke-1 dan ke-2 Pancasila, serta mengembangkan budaya dan kearifan lokal dari masing-masing daerah di Indonesia sebagai wujud Bhineka Tunggal Ika, sehingga pada tingkat ini mestilah ditertibkan jalur-jalur informasi seperti internet, film-film, dan acara-acara televisi yang tidak mengkondisikan budaya dan tata gaul yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
6. Menerapkan sepenuhnya sistem pembuktian terbalik sebagai suatu sistem pembuktian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, suap ataupun gratifikasi dan tindak pidana sejenis lainnya. Serta melakukan perubahan terhadap sistem penghukuman selama ini dengan menerapkan konsep eksekutorial yang memberikan mampu efek jera dan rasa malu serta pelajaran bagi para pelaku tindak pidana dan orang lain agar tidak mengulangi atau mencontoh perbuatan yang serupa.
Akhirnya semua berpulang kepada kita semua sebagai rakyat bangsa Indonesia yang ingin maju dan bermartabat untuk melakukan pembenahan dalam sistem peradilan kita utamanya dan bangsa ini pada umumnya, sebagaimana yang diungkapkan di atas. Semoga Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik, maju, dan bermartabat, baldatun thoyyibatun wa Rabbun Gahffuur, negeri yang baik dan mendapat ampunan.
Sudah menjadi rahasia umum ditengah-tengah masyarakat Indonesia bagaimana karut-marutnya kondisi penegakkan hukum (law enforcement) di negara ini, banyak faktor yang menjadi penyebab dari buruknya sistem peradilan di Indonesia, namun yang paling utama adalah terkait permasalahan rendahnya moralitas penegak hukum kita di hampir seluruh lembaga dan aparat penegak hukum yang ada mulai dari Kepolisian, Kejaksaan maupun Kehakiman bahkan hingga profesi-profesi lainnya yang bersentuhan dengan hukum semisal Advokat, Panitera maupun Notaris. Keboborokan moral penegak hukum itulah yang membuka pintu lebar-lebar terhadap praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di negara ini sehingga seakan-akan menjadi sesuatu yang mendarah daging dan membudaya, hal mana telah menggerogoti pilar-pilar dari tegaknya hukum atau supremasi hukum di Indonesia. Dalam berbagai penelitian, sebagaimana banyak dilansir media massa, persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) untuk tahun 2006, di satu sisi peringkat korupsi Indonesia semakin “baik” dengan nilai indeks 2,4 meningkat dari tahun sebelumnya, 2,2. Nilai indeks ini juga ikut mendongkrak urutan Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005 menjadi ketujuh (dari 163 negara) pada tahun itu.
Namun, fakta yang terjadi saat ini terlihat sangat bertolak belakang dengan data-data diatas, dimana sistem peradilan di Indonesia dinilai masih berantakan dengan aroma korupsi yang tercium mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan pengadilan, yang menjadikan situasi negara ini benar-benar dalam keadaan 'darurat hukum'. Sistem hukum yang karut-marut ini telah dimulai pada prose pengadilan sampai pada level eksekusi, seperti halnya berbagai permasalahan yang sempat terekspose oleh media baru-baru ini antara lain kasus joki narapidana, transaksi seks dan narkoba dibalik bilik penjara, serta fasilitas mewah yang didapatkan oleh napi berduit di dalam LAPAS, dan berbagai kasus lainnya sesungguhnya telah sangat melukai rasa keadilan masyarakat sekaligus menunjukkan pula betapa rendahnya moralitas aparat penegak hukum kita. Masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana sepak terjang seorang Artalyta Suryani (Ayin) saat ia melecehkan hukum, dimana Ayin merupakan sosok yang sangat “luar biasa”, ia bahkan dapat mengatur skenario kasus yang dihadapinya dengan para pihak petinggi Gedung Bundar, hal tersebut kita ketahui saat permufakatan jahatnya terungkap ke publik melalui rekaman telepon pembicaraannya yang diperdengarkan di sidang MK, Juni 2008 lalu.
Namun apa yang terjadi kemudian sungguh sangat ironis dan mengiris hati rakyat, dimana seorang Ayin yang mendekam di penjara dengan penuh kemewahan karena menyuap aparat penegak hukum, ternyata tetap dinyatakan pantas untuk mendapatkan pembebasan bersyarat pada 28 Januari 2011 dengan alasan prosedural yang debatable, bahwa keputusan tersebut diberikan karena Ayin dianggap telah berkelakuan baik serta aktif dalam kegiatan pembinaan lapas, dan telah menjalankan 2/3 masa tahanannya sejak Maret 2008, sehingga keputusan tersebut dianggap sesuai dengan prosedur yang berlaku. Belum cukup dengan kasus Ayin, kita dihadapkan dengan fakta-fakta yang mengguncang seluruh institusi penegak hukum dan berbagai lembaga negara yang ada mulai dari Dinas Perpajakan, Keimigrasian bahkan hingga Tim Pemberantas Mafia Hukum bentukan Presiden SBY melalui aksi-aksi Super Gayus (Gayus Tambunan) yang telah memporak-porandakan dan mencoreng muka aparat penegak hukum dan pemerintahan SBY-Boediono, hanya saja sampai detik ini baik aparat penegak hukum maupun pemerintah masih bertahan dengan muka tebal dan “make up”-nya yang seolah-olah dengan itu berusaha menutupi rendahnya moralitas mereka yang sesungguhnya, sungguh ironis memang.
Menyoroti permasalahan Ayin dan Gayus, sebenarnya bukan sekali ini saja penegak hukum menggunakan dasar argumen peraturan untuk menguntungkan para pelaku kejahatan 'kakap', kita tentu masih ingat pro dan kontra pemberian remisi kepada sejumlah koruptor kakap yang kesemuanya itu hanya dilandaskan pada argumentasi bahwa pemberian remisi telah diatur di dalam UU No.12 Tahun 1995 Pasal 14 ayat (1) butir i, teknis lebih lanjut tentang remisi dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Mekanisme pemberian remisi yang tidak jelas tentu tidak akan mampu diharapkan menimbulkan efek jera dari pelaku kejahatan. Apalagi, mengingat mekanisme pemberian remisi, pembebasan bersyarat, pemberian izin keluar rutan (rumah tahanan) dan proses hukum lain masih terbuka celah penyalahgunaan yang begitu lebar dengan praktik korupsi dan kongkalikong sejenisnya, tidak terkecuali bagi mereka para tahanan yang berada dalam Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (LP). Sedangkan kita semua mengerti bahwa penjara/LP sendiri diciptakan bukan sebagai sarana untuk balas dendam semata, tetapi penjara juga diciptakan sebagai tempat untuk membuat orang merasa menyesal dan jera serta memahami kesalahan yang ia buat. Oleh karenanya, apa bedanya penjara dengan tidak, jika semua keistimewaan di luar tembok penjara masih leluasa ia nikmati??. Dengan memahami kondisi tersebut diatas nampaknya memang rancangan 'pedang hukum' di negeri ini dirancang sebagai pedang yang tajam ke bawah akan tetapi tumpul ketika diarahkan ke atas, hal ini lah yang menyebabkan tidak efektifnya sistem peradilan di Indonesia, yang harus kita benahi bersama.
II. PEMBAHASAN
A. Pendidikan hukum berbasis moralitas dan sipiritualitas
Permasalahan-permasalahan yang diungkapkan dalam pendahuluan merupakan suatu “pekerjaan rumah” bagi kita, khususnya pemerintah untuk menyelesaikannya, dimana salah satu cara penyelesaian yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pelatihan atau pendidikan hukum yang berbasis kepada moralitas dan spiritualitas bagi aparat penegak hukum. Karena apabila ditelusuri pembentukkan watak, kemampuan, dan kepribadian penegak hukum itu, akan sampai pada titik tertentu, yakni pendidikan hukum dimana aparat penegak hukum itu menimba ilmu pengetahuan hukum, sehingga penting untuk melakukan pengkajian mengenai sejauh mana sistem pendidikan hukum di fakultas hukum itu mempengaruhi kepribadian, watak, dan kemampuan seseorang penegak hukum. Namun, yang menjadi persoalan adalah bahwa sistem pendidikan hukum di fakultas hukum saat ini masih kurang berbasis moralitas dan spiritualitas yang bertumpu pada agama dan etika, bahkan sebagian isi dari sistem pendidikan hukum yang ada masih sarat dengan aspek sekular dan liberal. Kondisi ini dapat dipahami mengingat sistem pendidikan hukum di Indonesia banyak menyerap dan mengadopsi sistem pendidikan hukum barat, terutama Belanda, yang memang sekuler dan liberal sebagai konsekuensi logis dari penjajahan Belanda di Indonesia. Karakteristik hukum yang demikian sesungguhnya sama sekali tidak sesuai dengn kondisi masyarakat Indonesia yang religius, dimana agama menjadi acuan penting dalam menjalani kehidupan, terutama menentukan sikap terhadap lingkungannya.
Praktek sekulerisme dan liberalisme di Indonesia sedikit banyak telah menjadi penyebab dari rusaknya moralitas para penegak hukum semenjak bangku pendidikan mereka, dimana dalam dunia pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, sampai tingkat Universitas diatur oleh Departemen Pendidikan, sedangkan untuk sekolah seperti Madrasah, Ibtidaiyah, dan IAIN diatur oleh Departemen Keagamaan, dari sini dapat kita lihat bahwa dunia pendidikan di negara ini berbasis kepada sekulerisme yang memisahkan akademis antara nilai-nilai sosialitas dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, andai pemerintah mengerti bahwasanya yang membentuk baik atau buruknya moralitas seseorang adalah tinggi atau rendahnya tingkat spiritualitasnya, sehingga tidaklah dapat dipisahkan antara pendidikan moralitas dan spiritualitas. Seharusnya pemerintah meleburkan kedua Departemen tersebut terkait kewenangannya dalam mengatur pendidikan sehingga membentuk suatu kurikulum baru yang terpadu dan sistematis, dengan memadukan pendidikan sosialitas akademis dan moralitas spiritual. Oleh karena itu, penting untuk dipertimbangkan bagaimana membangun pendidikan hukum yang berbasis moralitas spiritual di tanah air ini, dengan tujuannya agar proses pendidikan hukum yang berlangsung sejalan dengan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, serta lulusannya selain menguasai pengetahuan hukum secara teoritis dan profesi, juga memahami kedudukan dan perannya sebagai makhluk yang bermoralitas dan berspiritualitas dengan taat menunaikan ajaran agama-Nya dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya, terutama tindak kriminal dan praktek korupsi.
Pada prinsipnya, pendidikan hukum yang berbasis moralitas-spiritualitas mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, baik di tingkat konstitusi maupun undang-undang, dimana dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) 1945, telah mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa, baik dalam Pembukaan maupun pasal-pasal. Dalam hal pendidikan, UUD 1945 juga telah menentukan bahwa pendidikan sangat erat dengan moralitas, hal ini dapat dikaji dari rumusan Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang". Selain itu, salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yang memuat cita-cita luhur dan filosofis adalah "bahwa negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab", diatur lebih lanjut dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Tuhan yang dimaksud jika mengacu kepada Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 adalah Allah SWT, dengan teks lengkapnya sebagai berikut “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Dengan demikian, seharusnya negara membuka ruang dalam dunia pendidikan bagi ekspansi yang berbasis moralitas, agama, dan nilai-nilai spiritual khususnya dalam hal ini agama Islam, ke dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk juga pendidikan. Pemisahan nilai-nilai profetik-spritual dari urusan duniawi justru hanya akan memperburuk krisis moralitas penegak hukum dalam sistem peradilan kita.
B. Penerapan sistem pembuktian pidana sebagai suatu solusi
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwasanya korupsi menjadi satu dari sekian permasalahan hukum yang selalu menggerogoti moralitas aparat penegak hukum. Potret korupsi di Indonesia mungkin menjadi salah satu yang terburuk dalam sejarah peradaban modern, bahkan telah mencapai titik nadir yang tidak dapat ditolerir, begitu mengakar dan sistematis. Kerugian negara atas menjamurnya praktek korupsi sudah tidak terhitung lagi. Soemitro Djoyohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara 1989-1993 sebesar 30% dan hasil penelitian World Bank kebocoran dana pembangunan mencapai 45%. (Tempo, 22 Januari 1994). Sedangkan berdasarkan penelitian Transparency International (TI) selama lima (5) tahun berturut-¬turut dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, Indonesia selalu menduduki posisi 10 besar negara paling korup di dunia. (Transparency International, Corruption Perception, Index 1995, 1996, 1997, 1998, 1999 dan 2000). Begitu buruknya potret korupsi itu, tidak sedikit pihak – antara lain adalah Bung Hatta – yang menilai korupsi telah membudaya, penilaian itu mengemuka justru ketika korupsi belum separah seperti sekarang ini dan ketika kue pembangunan mulai tumbuh membesar. Ketika kue pembangunan mampu diperbesar oleh rezim Orde Baru dengan pengorbanan yang luar biasa besar dari rakyat dan penghisapan sumberdaya alam yang gila-gilaan, maka korupsi nampak demikian nyata. Konon keberadaannya dimitoskan sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan diperlukan (necessary evil). Oleh karenanya korupsi menjadi salah satu agenda penting yang harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia.
Sesungguhnya tidak akan terjadi separah itu kondisi korupsi di Indonesia jika kisah Hakim La Pagala Nene’Mallomo dari Sindereng (Sulsel) pada abad XVI dijadikan pedoman dalam memberantas korupsi. Hakim tersebut menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang dipersalahkan mencuri bajak tua milik seorang warga kerajaan. Ketika ditanya oleh seorang yang menghadiri sidang “Apakah Tuanku menilai sama nyawa putranya dengan kayu lapuk itu ?” Beliau menjawab singkat “ Ade’e temmaakeana ” temmakke eppo” (“Adat/hukum tak mengenal anak dan tak megenal cucu”). Oleh karena kisah hakim tersebut tidak dijadikan pedoman, maka pada perkembangannya sekarang terus terjadi berbagai bentuk praktik korupsi yang melibatkan para pengusaha dan pebisnis, biasanya dalam bentuk suap menyuap di bidang perizinan, pajak, peradilan, pengadaan barang dan jasa, pungutan liar, dan bea cukai. Di bidang pengadaan barang dan jasa, korupsi terjadi dalam bentuk pemberian komisi sebelum dan sesudah tender serta pada saat termin pembayaran. Meskipun sekarang sudah ada Keppres 80/2003, yang mengatur agar suap-menyuap seharusnya tidak lagi terjadi, namun praktik tersebut masih saja berlangsung, termasuk “tender arisan”. Biasanya bentuk korupsi yang dilakukan antara pengusaha dan profesional (akuntan dan pengacara) itu masuk kategori “bribery” (penyuapan). Korupsi di dalam tubuh pemerintahan yang melibatkan pengusaha dan profesional itu jumlahnya sangat banyak dan mencakup kerugian negara yang sangat besar (grand corruption).
Grand corruption yang berlangsung di era Orde Baru, mungkin mudah dicari kambing hitamnya seiring dengan kemajuan ekonomi, otoritarianisme politik, dan lemahnya kontrol masyarakat. Namun, ironisnya, memasuki era reformasi, kualitas maupun kuantitas masih menunjukkan hal yang tak jauh berbeda. Pergeserannya mungkin hanya dalam bentuk penampilannya saja, seperti tercerminkan pada bentuk-bentuk berikut : korupsi ramai-ramai (berjamaah) seperti dilakukan anggota DPRD dalam pemanfaatan dana APBD; korupsi pada pengadaan barang dan jasa serta penunjukkan rekanan seperti terjadi di KPU; korupsi di lembaga legislatif dan lembaga lain yang mampu mendesakkan kepentingannya secara efektif. Beberapa kelompok kepentingan dan LSM juga memanfaatkan keadaan ini dan disinyalir terlibat permainan korupsi dan praktik kotor lainnya yang merugikan negara. Hal serupa juga dialami kalangan akademisi yang semakin vokal dan gede-gedean suara, sehingga muncul anekdot : “menjual pendapat jadi pendapatan”; Korupsi melalui suatu kebijakan dimana hasil korupsi ditampilkan secara rapi untuk kepentingan yang mulia seperti pembangunan rumah ibadah, santunan fakir miskin sehingga korupsinya tersebut menjadi pembenar karena sebagai jalan pemerataan seperti terjadi dalam fenomena dana non budgeter; atau (mungkin) korupsi pada dunia maya yang belum mendapatkan penanganan maksimal, yang dilakukan melalui proses komputerisasi yang canggih (memasukan, merubah, bahkan menciptakan data-data baru) sehingga memperkaya diri dan orang lain secara melawan hukum dan merugikan negara (cyber crime).
Kesemua bentuk tindak pidana diatas sejatinya bermuara pada satu tindak pidana, yakni tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat bersembunyi dan sangat sulit untuk dibuktikan, kesulitan pembuktian tindak pidana korupsi merupakan hambatan dalam proses pengungkapan terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri. Sehingga, dibutuhkan suatu mekanisme pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dikenal sebagai sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik merupakan mekanisme yang dianggap dapat menjadi solusi untuk mengungkap tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik didefinisikan sebagai suatu mekanisme pembuktian dimana pihak yang dianggap bersalah yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Mekanisme pembuktian terbalik sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang benar-benar baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Mekanisme ini telah disebutkan dalam beberapa kebijakan legislasi yaitu UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No.15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Khusus untuk kebijakan legislasi yang mengatur tentang korupsi dan suap, mekanisme ini diatur dalam UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi walaupun sejak UU No.5 tahun 1960 dan UU No.3 tahun 1971 telah menyebutkan mengenai sistem pembuktian terbalik. Pada dasarnya, dalam setiap pemeriksaan di persidangan untuk kasus korupsi maupun suap terdakwa diberi hak (kesempatan) untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik merupakan suatu kewajiban bagi terdakwa penerima gratifikasi 10 juta rupiah atau lebih dan untuk membuktikan harta benda yang belum didakwakan bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Kebijakan legislasi yang telah diatur sedemikian rupa tidak serupa pada tatanan aplikatifnya. Sistem pembuktian terbalik hingga saat ini belum pernah diterapkan secara menyeluruh dan efektif oleh para aparat penegak hukum baik dalam kasus tindak pidana korupsi maupun suap karena memang pelaksanaannya masih tergantung pada wewenang hakim untuk menerapkannya atau tidak dalam persidangan, bahkan dalam perkara mafia pajak Gayus Tambunan pun, meskipun telah di instruksikan oleh Presiden RI nyatanya pelaksanaannya masih belum atau tidak diterapkan sepenuhnya oleh hakim.
C. Aspek efektifitas dalam sistem penerapan eksekusi pidana
Satu hal yang mungkin terkadang sering kali luput dari banyak pengamatan orang adalah proses eksekusi pidana atau pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan sebagai suatu vonis hakim atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, apa yang menjadi fakta dari rendahnya moralitas aparat penegak hukum dalam perkara Ayin dan Gayus serta beberapa pelaku tindak pidana lainnya yang dengan mudah keluar masuk rumah tahanan atau penjara serta mendapatkan fasilitas yang mewah layaknya hotel berbintang 5 (lima) telah menandakan bobroknya mentalitas dan moralitas aparat penegak hukum kita. Oleh karenanya, dalam menjaga eksistensi berbagai lembaga negara, terkait pemberantasan korupsi, termasuk didalamnya lembaga pemasyarakatan (LP), maka perlu dicermati dan didiskusikan akan keberadaan konsep penjara selama ini. Karena sudah menjadi rahasia umum, kalau penjara selama ini telah menjadi tempat nyaman untuk merencanakan, mengatur, dan menjalankan berbagai tindakan kejahatan bagi mereka para pelaku kejahatan. Kondisi seperti itu tentunya menjadi bagian dari tidak efektifnya penjara sebagai tempat yang bisa memberikan efek jera bagi para penghuninya. Oleh karena itu, konsep “eksekutorial” perlu diketengahkan untuk menjadi bagian dalam memberantas kejahatan, termasuk korupsi.
Tekait hal itu, terdapat tiga ukuran yang harus diperhatikan sekaligus menjadi keuntungan yang bisa didapatkan melalui konsep eksekutorial ini, yaitu:
(1) Efisien, dalam arti tindakan jitu/tepat dalam membasmi para koruptor khususnya, karena langsung dieksekusi seperti diberlakukannya hukum potong tangan dan atau hukuman mati terhadap para koruptor tersebut dengan disaksikan masyarakat luas (misalnya di Monas atau di alun-alun tiap daerah) serta diwajibkan untuk diliput oleh media massa, baik cetak maupun elektronik ;
(2) Murah, dalam arti dapat memangkas biaya besar yang selama ini dijalankan dalam konsep penjara. Dapat dibayangkan, pemberian jatah makan kepada para tahanan, jika sehari Rp 10.000,- untuk 3x makan, maka berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sekian banyak tahanan per harinya. Sebaliknya, tentunya akan terjadi penghematan yang besar dari hal hilangnya pemberian makan ini karena dilakukannya konsep langung eksekusi ;
(3) Efektif, karena dengan konsep eksekutorial dapat memberi efek jera, baik kepada para pelaku kejahatan tersebut sekaligus menjadi upaya pencegahan terhadap kejahatan yang belum dilakukan oleh siapapun.
Begitu pula, dalam tataran perbandingan hak asasi manusia (HAM), konsep eksekutorial bukan tidak mungkin memberikan penjunjungan yang tinggi akan nilai-nilai HAM, bahkan lebih baik daripada yang diberikan oleh konsep konvensional atau penjara selama ini. Sebagai gambaran, seseorang yang bersalah karena kejahatan yang dilakukannya, kepadanya dapat dilakukan eksekusi yang lebih cepat ketika putusan pengadilan menyatakannya bersalah, sehingga dia tidak perlu mengalami hukuman ganda (double punishment) karena menjalani masa tahanan/penjara yang tidak hanya merugikan dia sendiri, tapi secara psikologis bisa jadi merugikan istri, anak, keluarga atau saudaranya, seperti tidak bisa secara maksimal memberikan nafkah atau kebutuhan lahir batin, baik untuk istri, anak, keluarga maupun saudaranya tersebut. Oleh karena itu, suatu keniscayaan perilaku korupsi dan bentuk kriminalitas lainnya, baik dalam tataran ekonomi, politik, sosial, dan budaya, atau penyakit-penyakit masyarakat lainnya, insya Allah dapat diatasi dengan upaya-upaya melalui taubat nasional dengan cara revolusi fungsional, yaitu satu tindakan perubahan secara cepat dan mendasar melalui kemampuan tiap-tiap indvidu yaitu atas dasar kapasitas dan otoritas yang dimilikinya.
III. PENUTUP
Dengan menyadari kondisi saat ini, dimana kita berada ditengah-tengah krisis moralitas aparat penegak hukum, maka kita perlukan suatu upaya penegakan hukum dengan cara-cara yang extraordinary atau luar biasa. Sebagaimana yang diajabarkan diatas, cara-cara yang dimaksud dapat ditempuh sebagaimana berikut :
1. Merubah atau mengganti penerapan hukum kolonial Belanda beserta sistem hukum dan HAM-nya sekaligus, dengan sistem hukum dan HAM-nya yang sesuai dengan Pancasila, sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila ke-3 “Persatuan Indonesia”, serta ketentuan :
UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik;
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar;
(3) Negara Indonesia adalah Negara hukum;
dan UUD 1945 Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota Negara;
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.
Makna yang terdalam dari perubahan ini adalah mengacu kepada sila ke-1 Pancasila kemudian dikuatkan oleh Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Tuhan yang dimaksud jika menurut Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 adalah Allah Swt. Adapun Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) adalah:
Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” ;
UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Jadi, konsekuensi logisnya Negara Republik Indonesia harus mau dan rela diatur oleh hukum-hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw., serta dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan menurut selera para penguasa yang sedang berkuasa dan juga harus menjaga keutuhan NKRI sebagaimana perintah sila ke-3 Pancasila.
2. Merubah atau mengganti penerapan sistem demokrasi liberal yang sekarang berlangsung dengan memberlakukan sistem demokrasi yang berdasarkan musyawarah, mufakat, dan melalui sistem perwakilan sesuai dengan Pancasila, sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, dan UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, serta berdasarkan kepada Pasal 28 yakni, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
3. Merubah dan mengganti sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku selama ini dengan sistem ekonomi-berbagi (sharing-economy) sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), yaitu :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
4. Merubah atau mengganti sistem pendidikan yang bersifat sekularisme, yaitu yang memisahkan kehidupan dunia dengan agama, dimana selama ini jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA, dan Universitas berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional dengan orientasi kepada urusan dunia saja. Sementara di sisi lain jenjang pendidkan mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan IAIN atau madrasah pada umumnya berada di bawah koordinasi Departemen Agama dengan orientasinya lebih kepada urusan akhirat. Kondisonal sistem pendidikan ini harus diubah atau diganti sebagaimana UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) dan (5), yaitu :
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Jadi, jelas kalau sistem pendidikan mesti mengintegrasikan antara keimanan dan ketakwaan dengan kecerdasan serta keterampilan dan keberanian watak sebagai watak bangsa yang bermartabat. Untuk terkondisikannya suasana pendidikan yang kondusif sehingga berlaku pendidikan yang tidak sekular, maka perlu diambil kebijakan oleh Presiden, yaitu menyatukan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan atau setidak-tidaknya Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Agama untuk menyatukan kurikulum yang berasal dari pendidikan umum dikombinasikan dengan sebaik-baiknya, yang diambil dari kurikulum yang full mengajarkan agama kepada setiap pelajaran pada tiap-tiap tingkatannya. Juga perlu dibuat kebijakan nasional yang mencakup siaran TV antara pukul 19.00-21.00 harus dikondisikan menjadi jam wajib belajar atau pada jam tersebut seluruh siaran TV diwajibkan membuat program yang mengajarkan 5 hal penting kepada seluruh rakyat Indonesia:
(1) Pelajaran Al Quran dan hadis Nabi Saw. serta ajaran-ajaran agama lainnya yang diakui di Indonesia dengan segala porsinya.
(2) Pelajaran Matematika
(3) Pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Arab di samping Bahasa Indonesia
(4) Pelajaran tentang komputer dan informasi
(5) Pelajaran tentang Sejarah, terutama sejarah para nabi dan tokoh pahlawan Indonesia serta tokoh dunia yang dianggap perlu agar bangsa Indonesia mendapatkan jalan yang lurus sebagaimana jalan dari orang-orang yang telah Allah beri nikmat dalam menjalankan hidupnya. Hal ini sesuai yang selalu umat Islam Indonesia mengamalkannya karena diajarkan dalam QS Al Fatihah ayat 6 dan 7, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
5. Merubah atau mengganti tatanan budaya hedonisme dan pragmatisme serta budaya koruptif dengan sistem budaya atau tata gaul yang didasari kepada sila ke-1 dan ke-2 Pancasila, serta mengembangkan budaya dan kearifan lokal dari masing-masing daerah di Indonesia sebagai wujud Bhineka Tunggal Ika, sehingga pada tingkat ini mestilah ditertibkan jalur-jalur informasi seperti internet, film-film, dan acara-acara televisi yang tidak mengkondisikan budaya dan tata gaul yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
6. Menerapkan sepenuhnya sistem pembuktian terbalik sebagai suatu sistem pembuktian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, suap ataupun gratifikasi dan tindak pidana sejenis lainnya. Serta melakukan perubahan terhadap sistem penghukuman selama ini dengan menerapkan konsep eksekutorial yang memberikan mampu efek jera dan rasa malu serta pelajaran bagi para pelaku tindak pidana dan orang lain agar tidak mengulangi atau mencontoh perbuatan yang serupa.
Akhirnya semua berpulang kepada kita semua sebagai rakyat bangsa Indonesia yang ingin maju dan bermartabat untuk melakukan pembenahan dalam sistem peradilan kita utamanya dan bangsa ini pada umumnya, sebagaimana yang diungkapkan di atas. Semoga Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik, maju, dan bermartabat, baldatun thoyyibatun wa Rabbun Gahffuur, negeri yang baik dan mendapat ampunan.
Rabu, 23 Maret 2011
Kompleksitas UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
Polemik atas Rencana Pengambilalihan PT. Indosiar Karya Media, Tbk. oleh PT. Elang Mahkota Teknologi, Tbk. melalui perjanjian jual bersyarat dengan PT. Prima Visualindo pemegang 551.708.684 saham (27,24%) dalam PT. Indosiar Karya Media, Tbk. (IDKM) dengan tujuan untuk mengendalikan IDKM sebagaimana yang diumumkan pada beberapa harian media massa baru-baru ini telah menimbulkan sejumlah tanda tanya besar, dimana hal ini sepertinya didiamkan dan dibiarkan terjadi bahkan adanya indikasi telah di"restui" oleh pemerintah.
Sejatinya pengambilalihan tersebut akan "melanggar" ketentuan konstitusi atau perundang-undangan kita, dimana hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dibawah satu badan hukum dengan melampaui batas, sehingga akan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran yang menyatakan “pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”, pembatasan sebagaimana dimaksud ditetapkan dalam Pasal 32 PP No.50 Tahun 2005 antara lain: ayat (1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:
a) satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda ;
b) paling banyak memiliki saham sebesar 100% pada badan hukum kesatu ;
c) paling banyak memiliki saham sebesar 49% pada badan hukum kedua;
d) paling banyak memiliki saham sebesar 20% pada badan hukum ketiga;
e) paling banyak memiliki saham sebesar 5% pada badan hukum keempat dan seterusnya;
f) badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Sedangkan, pelanggaran atas ketentuan ini dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Penyiaran.
Selain itu, rencana pengambilalihan tersebut akan pula mengakibatkan terjadinya "pelanggaran" terhadap ketentuan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang menyatakan bahwa Ijin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangakan kepada pihak lain, lebih jelas dijabarkan dalam penjelasan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang merumuskan mengenai contoh-contoh bentuk pemindahtanganan yang dilarang itu dengan menyebutkan “yang dimaksud dengan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangkan kepada pihak lain, misalnya Ijin Penyelenggaraan Penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain”. Sedangkan, pelanggaran atas ketentuan ini dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Penyiaran.
Namun, terlepas dari hal tersebut pada prakteknya "pelanggaran" serupa telah juga dibiarkan oleh pemerintah tekait Penguasaan saham PT. Media Nusantara Citra, Tbk. (MNC), yang menguasai saham RCTI (99%), Global TV (99%) dan TPI/MNC TV (75%) di Jakarta, tentunya hal ini jelas-jelas melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud diatas serta ketentuan Pasal 20 UU Penyiaran yang menyebutkan bahwa sebuah lembaga penyiaran hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran dalam satu cakupan wilayah siaran. Sehubungan hal tersebut, ada upaya untuk melakukan revisi atas ketentuan UU Penyiaran yang disinyalir justru akan merugikan masyarakat dan sarat akan pembelaan terhadap para pengusaha atau korporasi terkait, dan nampaknya hal inilah yang menyebabkan sejumlah tokoh masyarakat, praktisi hukum serta organisasi masyarakat melayangkan gugatan publik kepada Kemkominfo, KPI, Bapepam, serta Komisi I dan III DPR RI.
Fakta-fakta secara intelektualitas yuridis tersebut diatas terkait "pelanggaran" yang dimaksud sepertinya menjadi sesuatu yang sia-sia apabila kita mengingat dan membaca bunyi ketentuan Pasal 32 ayat (3) PP No.50 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa: Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% dan paling banyak 90% pada badan hukum kedua dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran Swasta yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relai yang dimilikinya sebelum ditetapkannya PP ini (16 November 2005). Sehingga, dengan kata lain Pasal 32 ayat (3) telah mereduksi sendiri ketentuan Pasal 32 ayat (1)-nya, maka dapat dikatakan Pasal 32 ayat (3) PP No.50 Tahun 2005 telah memfasilitasi dan melanggengkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam industri penyiaran televisi swasta yang berdiri sebelum tanggal 16 November 2005, sebagaimana yang telah terjadi saat ini seperti apa yang telah dijabarkan di atas. Hal mana tentunya menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini, Kemkominfo, KPI, Bapepam, serta Komisi I dan III DP RI telah membuat suatu ketentuan undang-undang dan kebijakan yang berpotensi, bahkan telah merugikan kepentingan masyarakat luas serta bangsa dan negara.
Sejatinya pengambilalihan tersebut akan "melanggar" ketentuan konstitusi atau perundang-undangan kita, dimana hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dibawah satu badan hukum dengan melampaui batas, sehingga akan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran yang menyatakan “pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”, pembatasan sebagaimana dimaksud ditetapkan dalam Pasal 32 PP No.50 Tahun 2005 antara lain: ayat (1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:
a) satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda ;
b) paling banyak memiliki saham sebesar 100% pada badan hukum kesatu ;
c) paling banyak memiliki saham sebesar 49% pada badan hukum kedua;
d) paling banyak memiliki saham sebesar 20% pada badan hukum ketiga;
e) paling banyak memiliki saham sebesar 5% pada badan hukum keempat dan seterusnya;
f) badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Sedangkan, pelanggaran atas ketentuan ini dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Penyiaran.
Selain itu, rencana pengambilalihan tersebut akan pula mengakibatkan terjadinya "pelanggaran" terhadap ketentuan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang menyatakan bahwa Ijin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangakan kepada pihak lain, lebih jelas dijabarkan dalam penjelasan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang merumuskan mengenai contoh-contoh bentuk pemindahtanganan yang dilarang itu dengan menyebutkan “yang dimaksud dengan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangkan kepada pihak lain, misalnya Ijin Penyelenggaraan Penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain”. Sedangkan, pelanggaran atas ketentuan ini dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Penyiaran.
Namun, terlepas dari hal tersebut pada prakteknya "pelanggaran" serupa telah juga dibiarkan oleh pemerintah tekait Penguasaan saham PT. Media Nusantara Citra, Tbk. (MNC), yang menguasai saham RCTI (99%), Global TV (99%) dan TPI/MNC TV (75%) di Jakarta, tentunya hal ini jelas-jelas melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud diatas serta ketentuan Pasal 20 UU Penyiaran yang menyebutkan bahwa sebuah lembaga penyiaran hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran dalam satu cakupan wilayah siaran. Sehubungan hal tersebut, ada upaya untuk melakukan revisi atas ketentuan UU Penyiaran yang disinyalir justru akan merugikan masyarakat dan sarat akan pembelaan terhadap para pengusaha atau korporasi terkait, dan nampaknya hal inilah yang menyebabkan sejumlah tokoh masyarakat, praktisi hukum serta organisasi masyarakat melayangkan gugatan publik kepada Kemkominfo, KPI, Bapepam, serta Komisi I dan III DPR RI.
Fakta-fakta secara intelektualitas yuridis tersebut diatas terkait "pelanggaran" yang dimaksud sepertinya menjadi sesuatu yang sia-sia apabila kita mengingat dan membaca bunyi ketentuan Pasal 32 ayat (3) PP No.50 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa: Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% dan paling banyak 90% pada badan hukum kedua dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran Swasta yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relai yang dimilikinya sebelum ditetapkannya PP ini (16 November 2005). Sehingga, dengan kata lain Pasal 32 ayat (3) telah mereduksi sendiri ketentuan Pasal 32 ayat (1)-nya, maka dapat dikatakan Pasal 32 ayat (3) PP No.50 Tahun 2005 telah memfasilitasi dan melanggengkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam industri penyiaran televisi swasta yang berdiri sebelum tanggal 16 November 2005, sebagaimana yang telah terjadi saat ini seperti apa yang telah dijabarkan di atas. Hal mana tentunya menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini, Kemkominfo, KPI, Bapepam, serta Komisi I dan III DP RI telah membuat suatu ketentuan undang-undang dan kebijakan yang berpotensi, bahkan telah merugikan kepentingan masyarakat luas serta bangsa dan negara.
Kamis, 24 Februari 2011
Plagiarisme Dalam Kacamata Hukum Positif
Berkembangnya ilmu pengetahuan serta lahirnya karya-karya merupakan sesuatu yang bernilai positif, namun seringkali hal tersebut disalahgunakan oleh segelintir orang untuk mencari keuntungan pribadinya sendiri. salah satu peristiwa hukum terkait pelanggaran atas suatu karya atau ilmu pengetahuan tersebut lebih dikenal dengan istilah Plagiarisme. Apakah itu Plagiarisme??bagaimana hukum positif kita mengatur mengenai Plagiarisme??untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal tersebut, berikut kurang lebih penjabaran singkat mengenai Plagiarisme.
DEFINISI HUKUM PLAGIARISME
Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya. Sedangkan orang yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
DASAR HUKUM PLAGIARISME
Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidaklah mengenal istilah plagiarisme atau plagiat, oleh karenanya dalam kacamata hukum plagiarisme dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran terhadap hak cipta, dalam hal ini diatur melalui ketentuan Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan ketentuan pidananya sebagaimana berikut ;
Pasal 72 ayat (1) :
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
yang dalam hal ini, terkait dengan ketentuan mengenai pengertian dari hak cipta adalah sebagai berikut ;
Pasal 2 ayat (1) :
“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Berdasarkan hal yang diutarakan diatas, agar seorang pencipta memiliki hak cipta sebagai hak eksklusif atas ciptaannya maka terlebih dahulu harus melakukan pendaftaran ciptaan sebagaimana yang diamanatkan ketentuan Pasal 35 s/d 44 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selain itu, yang dapat disebut sebagai pencipta, pemilik atau pemegang hak cipta, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta adalah :
a. Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal ; atau
b. Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
Oleh karenanya, merujuk kepada definisi serta dasar hukum plagiarisme atau plagiat yang ada sebagaimana dijabarkan diatas, maka secara sederhana terdapat beberapa unsur dasar untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak cipta atau tidak, antara lain :
1) Terdapat ciptaan yang dilindungi hak cipta, dimana masa perlindungannya masih berlaku ;
2) Terdapat bagian substansial dari ciptaan tersebut yang diumumkan dan/atau diperbanyak ; dan
3) Adanya pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut yang dilakukan tanpa seijin dari si pencipta atau pemegang hak cipta, dan tidak termasuk ke dalam penggunaan yang dibenarkan (fair use) menurut ketentuan UU Hak Cipta, atau dengan tidak mencantumkan keterangan yang cukup terkait sumbernya.
Manakala unsur-unsur tersebut terpenuhi maka dapatlah diindikasikan adanya pelanggaran hak cipta, namun tanpa adanya unsur-unsur tersebut seperti apapun bentuk pelanggaran yang ada tidaklah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta dan tidaklah benar apabila dipaksakan menjadi suatu permasalahan hukum.
DEFINISI HUKUM PLAGIARISME
Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya. Sedangkan orang yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
DASAR HUKUM PLAGIARISME
Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidaklah mengenal istilah plagiarisme atau plagiat, oleh karenanya dalam kacamata hukum plagiarisme dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran terhadap hak cipta, dalam hal ini diatur melalui ketentuan Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan ketentuan pidananya sebagaimana berikut ;
Pasal 72 ayat (1) :
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
yang dalam hal ini, terkait dengan ketentuan mengenai pengertian dari hak cipta adalah sebagai berikut ;
Pasal 2 ayat (1) :
“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Berdasarkan hal yang diutarakan diatas, agar seorang pencipta memiliki hak cipta sebagai hak eksklusif atas ciptaannya maka terlebih dahulu harus melakukan pendaftaran ciptaan sebagaimana yang diamanatkan ketentuan Pasal 35 s/d 44 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selain itu, yang dapat disebut sebagai pencipta, pemilik atau pemegang hak cipta, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta adalah :
a. Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal ; atau
b. Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
Oleh karenanya, merujuk kepada definisi serta dasar hukum plagiarisme atau plagiat yang ada sebagaimana dijabarkan diatas, maka secara sederhana terdapat beberapa unsur dasar untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak cipta atau tidak, antara lain :
1) Terdapat ciptaan yang dilindungi hak cipta, dimana masa perlindungannya masih berlaku ;
2) Terdapat bagian substansial dari ciptaan tersebut yang diumumkan dan/atau diperbanyak ; dan
3) Adanya pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut yang dilakukan tanpa seijin dari si pencipta atau pemegang hak cipta, dan tidak termasuk ke dalam penggunaan yang dibenarkan (fair use) menurut ketentuan UU Hak Cipta, atau dengan tidak mencantumkan keterangan yang cukup terkait sumbernya.
Manakala unsur-unsur tersebut terpenuhi maka dapatlah diindikasikan adanya pelanggaran hak cipta, namun tanpa adanya unsur-unsur tersebut seperti apapun bentuk pelanggaran yang ada tidaklah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta dan tidaklah benar apabila dipaksakan menjadi suatu permasalahan hukum.
Selasa, 22 Februari 2011
Perlindungan Hukum Hak-hak Korban Kejahatan
Perlindungan hukum dalam hal ini erat kaitannya dengan hak-hak korban, dan langkah perlindungan yang diberikan lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Dikatakan reaktif karena langkah ini ditujukan kepada mereka yang telah mengalami atau menjadi korban kejahatan dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah bahwasanya sering kali korban memutuskan untuk tidak melaporkan akan adanya suatu kejahatan yang menimpa mereka. Banyak faktor yang menjadi penyebab sehingga korban enggan untuk melaporkan kejahatan yang terjadi, salah satu faktornya bahwa keputusan korban ini merupakan rangkaian tingkah laku yang bersumber pada sikap individual dan interaksi korban sebagai pelapor dengan polisi sebagai fungsi hubungan stimulus secara timbal balik. Polisi sebagai sistem stimulus diwujudkan dalam bentuk perilaku positif dalam “model bertingkah laku” bagi korban dalam pengambilan keputusan. Demikian pula sebaliknya, tingkah laku masyarakat adalah stimulus yang diwujudkan dalam bentuk penghargaan dari masyarakat terhadap polisi yang akan menjadi faktor pendorong bagi polisi dalam menjalankan tugasnya.
Selain faktor tersebut, terdapat beberapa faktor-faktor lanilla. Ennis mengungkapkan paling tidak ada enam alasan bagi korban shingga tidak melaporkan kejahatan yang terjadi yaitu:
1. Identification with the ofender as opposed to the police ;
2. A belief that the act was not a crime ;
3. Fear or physical harm repsisal by offender or friends and associates of offender ;
4. Economic loss through usually increased insurance rates ;
5. Unwillingness to get envolved ; and
6. Loss faith in police effectiveness.
Dalam hal yang sama, Box mengemukakan beberapa alasan lain mengana korban tidak melapor, antara lain:
a. Korban menyadari dirinya menjadi korban kejahatan akan tetapi tidak bersedia melapor dikarenakan korban menganggap polisi tidak effisien dan/atau korban menganggap masalah yang dihadapi merupakan urusan pribadi sehingga dapat diselesaikan secara ekstra yudisial dan untuk menghindari rasa malu serta tersemarnya harga diri ;
b. Korban tidak menyadari dirinya menjadi korban kejahatan, misalnya pada korban penipuan ;
c. Korban yang bersifat abstrae sulit untuk ditentukan secara jelas ;
d. Korban terlibat pula dalam kejahatan ;
e. Secara resmi tidak menjadi korban karena adanya kewenangan (diskresi) dan kebijakan dalam rangka penegakkan hukum.
Terlepas daripada faktor-faktor tersebut, dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara tegas telah diatur bentuk perlindungan hukum ini, demikian pula dalam UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, Pasal 27 ayat (1) huruf (a) yang merumuskan bahwa kejaksaan bertugas melakukan penuntutan dalam perkara pidana, meskpipun dalam menjalankan tugasnya untuk dan atas nama negara, akan tetapi juga mewakili korban tidak pidana. Selain itu, di dalam deklarasi PBB tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, telah dirumuskan bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
1. Access to justice and fair treatment ;
2. Restitution ;
3. Compensation ;
4. Assistance.
Korban kejahatan pada umumnya tertuju pada manusia yang mempunyai hak dan kewajiban serta menuntut perlakuan yang sama dengan orang lain, termasuk perlakuan terhadap pelaku kejahatan. Jaminan perlakuan terhadap korban seringkali dituntut, karena merupakan salah satu bentuk perlindungan. Upaya penegakkan hukum tidak akan membawa hasil manakala tidak diimbagi dengan perasaan keadilan, termasuk didalamnya rasa keadilan para korban kejahatan.
Adanya kecenderungan sikap korban yang pasif dan bahkan non-kooperatif (uncooperative victims of crime) dengan aparat penegak hukum, merupakan salah satu bukti konkrit dari kurangnya perhatian sistem peradilan pidana terhadap hak-hak dan perlindungan hukum korban kejahatan. Belum lagi ditambah dengan kecenderungan yang “offender centered” yang mengakibatkan kurangnya dukungan korban terhadap sistem peradilan pidana. Sikap kurang loyal di atas akan lebih mengemuka manakala korban harus pula berfungsi sebagai saksi yang memberikan kesaksian secara benar dibawah sumpah. Jika ternyata kesaksian korban tidak benar atau palsu dan memberatkan tersangka atau terdakwa, ia diancam dengan pidana penjara maksimal sembilan bulan (Pasal 242 ayat (2) KUHP) dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu.
Dengan kata lain, sikap positif dan mengayomi serta kepercayaan korban terhadap kemampuan aparat sistem peradilan pidana akan mempengaruhi besar kecilnya tingkat kepatuhan korban terhadap sistem yang berlaku. Schneider, sebagaimana dikutip oleh Mc. Donald mengemukakan bahwa:
“if the victim has more positive attitudes toward the police, is more trusting of the police, then the probability of reporting is greater; if the victim relieves the police and other law enforcement institutions are effective, then the probability of reporting is greater”.
Kurangnya kepercayaan korban terhadap peradilan pidana yang tercermin dari banyaknya korban yang tidak melapor, merupakan kegagalan sistem peradilan pidana, baik dalam menata sistem maupun dalam mencapai tujuan akhir. Dalam hal yang terakhir, selain harus berpedoman kepada ketentuan tertulis harus pula diperhatikan moral yang didasarkan pada kebenaran dalam melihat suatu perkara. Oleh karenanya setiap sub-sistem dalam sistem peradian pidana senantiasa memiliki tanggung jawab berupa tanggung jawab hukum untuk menegakkan hukum negara dan tanggung jawab moral untuk mlindungi, memulihkan dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia. Apabila terjadi penyimpangan terhadap kedua tanggung jawab di atas maka akan menimbulkan efek negatif terhadap tersangka maupun korban. Dengan kata lain, penyimpangan di atas akan menjadikan sistem peradilan pidana sebagai faktor kriminogen dan sekaligus faktor viktimogen. Terhadap tersangka, ia akan menjadi korban struktural (structural victims), misalnya karena penangkapan dan penahanan yang tidak sah, sedangkan terhadap korban selain ia telah menjadi korban kejahatan harus pula menjadi korban sistem peradilan pidana yang dalam mekanismenya kurang memperhatikan hak-hak dan perlindungan korban yang merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.
Dalam berbagai hal, sifat uncooperative victims of crime dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, adapun beberapa alasan lainnya yang dimaksud, adalah:
1. Karena menyangkut nama baik dan masa depan, korban mengambil jarak dengan sikap tidak melaporkan terutama dalam kasus tindak pidana kesusilaan ;
2. Korban lebih menghendaki penyelesaian secara kekeluargaan dan tidak menghendaki pelakunya dipidana ;
3. Korban merasa khawatir terhadap encaman balas dendam dari pelaku ;
4. Korban merasa bahwa nilai kerugian yang ditimbulkan tidak begitu berarti.
Dengan mengamati sikap uncooperative di atas, maka perumusan sarana hukum yang jelas bagi perlindungan terhadap korban akan memberikan landasan berpijak secara yuridis bagi korban untuk meminta dan menuntut keadilan. Hal ini tentunya perlu diikuti dengan langkah sosialisasi dari sejumlah ketentuan kepada masyarakat, agar terdapat persamaan persepsi mengenai kedudukan dan status hukum korban. Selain itu perlu juga adanya pemberdayaan sarana hukum yang telah ada, dalam hal pemberian ganti kerugian baik dari pelaku maupun dari pemerintah kepada korban harus lebih ditekankan kembali sebagai langkah yang mempunyai landasan yang cukup rasional, yang apabila dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti kerugian harus terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materil dan segala biaya yang telah dikeluarkan serta merupakan pemuasan emocional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Dalam hubungan ini Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu:
a. Meringankan beban penderitaan korban ;
b. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku ;
c. Sebagai salah satu cara untuk merehabilitasi terpidana ;
d. Mempermudah proses peradilan pidananya ;
e. Mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.
Keberpihakan kepada korban akan lebih bermakna manakala diamati betapa peran korban dalam proses peradilan pidana (terutama dalam proses penyidikan) yang dinilai cukup penting, karena keengganan korban untuk melapor ataupun memberikan kesaksian berupa informasi tentang kejahatan merupakan suatu hambatan serius bagi aparat penegak hukum. Sehingga, apabila dilihat dari segi pengendalian kejahatan (control of crimes), upaya pengamanan diri merupakan salah satu cara yang cukup effektif mengingat keterbatasan sumber daya polisi dalam mencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Namun, tetap saja langkah ini harus didukung dengan pola kerjasama antara masyarakat dan polisi yang didasari pada tujuan yang sama.
Dengan demikian yang perlu kita garis bawahi mengenai perlindungan hukum bagi korban kejahatan, yang apabila kita kaitkan dengan sistem peradilan pidana yang mana fokus utamanya adalah bagaimana mengembalikan pelaku kejahatan ke dalam masyarakat, maka bagaiman sikap anggota masyarakat termasuk korban di dalamnya merupakan faktor yang patut diperhitungkan. Tentu saja penerimaan masyarakat yang demikian akan lebih mudah terwujud jika segala akibat negatif yang diderita masyarakat (korban) dapat dihilangkan, baik penderitaan fisik maupun non-fisik. Penderitaan yang maĆz berbekas dan dialami korban merupakan hambatan atau paling tidak akan mempengaruhi sikap masyarakat, terutama korban dalam menerima kembali kehadiaran pelaku di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dalam hal yang demikian, diperlukan perlindungan hukum yang proaktif bagi masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya kepada korban kejahatan dalam arti sempit semata.
Sedangkan berbicara mengenai hak-hak korban, terdapat hak kompensasi dan restitusi sebagaimana juga disebutkan di dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, dimana berdasarkan deklarasi ini hak-hak korban secara umum adalah mendapatkan:
1. Restitusi
Pelaku tindakan pidana bertanggung jawab untuk memberikan restitusi kepada korban. Restitusi adalah pemberian ganti kerugian sepenuhnya atau sebagian oleh pihak pelaku kepada pihak korban, apabila yang bersangkutan mampu memberikannya. Soeharto (2007) juga memberikan gambaran bagaimana proses mengajukan restitusi. Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan pengadilan dan pelaku memberikan restitusi paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan. Sebagaimana dalam pelaksanaan pemberian kompensasi dalam pemberian restitusi pelaku atau pihak ketiga juga melaporkan pelaksanaannya kepada Ketua Pengadilan dengan disertai tanda bukti dan kepada korban atau ahli warisnya diberikan restitusi oleh pelaku.
Pengadilan setelah menerima tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga akan mengumumkan pelaksanaan pemberian restitusi tersebut pada papan pengumuman pengadilan. Bila sampai dengan batas waktu 60 (enam puluh) hari korban atau ahli warisnya belum menerima pemberian restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutrnya pengadilan segera memerintahkan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
2. Kompensasi
Apabila pelaku tindak pidana tidak melakukan restitusi kepada korban, maka negara berkewajiban mengusahakan kompensasi finansial kepada korban. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa kompensasi adalah pemberian ganti kerugian oleh pihak pemerintah, dikarenakan pihak pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Pemerintah memberikan ganti kerugian ini adalah semata-mata dalam rangka mengembangkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan rakyat, dan bukan karena bersalah. Menurut Gosita (2001) kompensasi ini merupakan uluran tangan negara sebagai perwujudan perhatian pemerintah terhadap permasalahan penduduk.
Korban atau kuasanya dapat mengajukan permohonan kompensasi dan bukti pelaksanaannya kepada Menteri Keuangan setelah menerima permohonan dari korban atau kuasanya paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan memberikan kompensasi tersebut. Pengertian kompensasi dalam UU No.15 tahun 2003 adalah penggantian yang bersifat materiil dan immateriil. Soeharto (2007) memberikan bagaimana proses pelaksanaan pemberian kompensasi kepada para korban. Pelaksanaan pemberian kompensasi oleh Menteri Keuangan dilaporkan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut, dengan disertai tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi dimaksud dan untuk korban atau ahli warisnya akan mendapat salinan tanda bukti pemberian kompensasi tersebut.
Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti dari pelaksanaan pemberian kompensasi tersebut, kemudian Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian kompensasi pada papan pengumuman pengadilan dimana perkara tersebut diputuskan. Bilamana sampai batas waktu 60 (enam puluh) hari telah lewat dan korban atau ahli warisnya belum menerima kompensasi maka korban atau ahli warisnya dapat melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri dan selanjutnya pengadilan atas laporan korban atau ahli warisnya segera memerintahkan untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung seja tanggal perintah tersebut diterima. Soeharto (2007) menambahkan bahwa dalam UU No.15 Tahun 2003 tidak dicantumkan tentang berapa besarnya kompensasi yang harus diterima oleh korban, demikian pula tentang perincian apakah seorang yang meninggal dunia dan orang cacat akan mendapatkan kompensasi yang sama serta adanya kerugian-kerugian materiil yang lain, misalnya rumah yang hancur, mobil, atau kendaraan yang rusak diakibatkan adanya tindak pidana terorisme. Termasuk ke dalam pengertian kompensasi dalam UU No.15 tahun 2003 adalah penggantian yang bersifat immateriil tetapi sekali lagi dalam undang-undang ini tidak menentukan bentuk kerugian immateriil yang bagaimana yang akan diberikan berikut nominalnya.
UU No.15 Tahun 2003 sebagaimana layaknya produk undang-undang lainnya, dalam menentukan besarnya masing-masing kerugian materiil dan immateriil akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah sehingga tidak mencantumkan ketentuan tersebut dalam pasal-pasal pemberian kompensasi tersebut. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan karena pemerintah mendapat kebebasan sesuai dengan kemauannya sendiri untuk menentukan kriteria dan besarnya kompensasi terhadap korban.
3. Pendampingan
Korban harus mendapatkan pendampingan medis, psikologis, maupun sosial yang layak baik melalui pemerintah, sukarelawan maupun swadaya masyarakat. Hak pendampingan pada dasarnya merupakan hak yang serupa dengan rehabilitasi, yaitu hak yang diberikan kepada korban untuk mengembalikan kondisi korban kembali seperti semula, baik itu kondisi fisik atau medisnya, maupun kondisi mental atau psikologisnya serta rehabilitasi terkait dengan kehidupannya di masyarakat yaitu dalam bersosialisasi.
Sedangkan mengenai hak-hak korban lainnya sebagai hak-hak yang melengkapi, adalah:
1. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan atau partisipasi dan peranan si korban dalam terjadinya kejahatan ;
2. Korban berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya);
3. Korban berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban beninggal dunia karena tindakan tersebut ;
4. Korban berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi ;
5. Korban berhak mendapat kembali hak miliknya ;
6. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya ;
7. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi ;
8. Korban berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum ;
9. Korban berhak mempergunakan upaya hukum (Rechtsmiddelen).
selain itu juga yang merupakan hak-hak para korban kejahatan di Amerika Serikat adalah :
1. Hak untuk turut serta dalam sistem peradilan kriminal ;
2. Hak untuk memperoleh dana yang disediakan oleh pemerintah sebagai kompensasi korban kejahatan ;
3. Hak untuk menerima restitusi yang diperintahkan oleh peradilan kriminal ;
4. Hak untuk mendapatkan keputusan atas tindakan sipil terhadap kriminalitas, tindakan yang melanggar hukum kecerobohan pihak ketiga ;
5. Hak untuk bebas dari intimidasi ;
6. Hak untuk mendapatkan keuntungan dari eksploitasi versi kejahatan suatu tindak pidana ;
7. Hak untuk mencari alternatif penyelesaian masalah ;
Berbicara mengenai hak tentunya tidak terlepas dari kewajibannya, dimana kewajiban korban kejahatan adalah :
1. Korban tidak diperkenankan melakukan tindakan pembalasan (main hakim sendiri) ;
2. Korban wajib berpartisipasi dengan masyarakat untuk mencegah bertambahnya jumlah korban lebih banyak lagi ;
3. Korban wajib Mencegah kehancuran si pembuat korban, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain ;
4. Korban berkewajiban untuk ikut serta membina pembuat korban (pelaku tindak pidana) ;
5. Korban berkewajiban untuk dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi di kemudian hari ;
6. Korban Tidak diperkenankan untuk menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban ;
7. Korban berkewajiban memberikan kesempatan kepada pembuat korban untuk memberikan kompensasi bagi pihak korban sesuai dengan kemempuannya (mencicil secara bertahap atau imbalan jasa) ;
8. Korban wajib menjadi saksi apabila dibutuhkan dan tidak membahayakan diri sendiri serta terdapat jaminan hukum dan perlindungan atasnya.
Demikianlah beberapa macam hak dan kewajiban pihak korban yang perlu mendapat perhatian untuk dipertimbangkan manfaatnya diatur dalam peraturan perundang-undangan demi keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan rakyat. Hak dan kewajiban korban ini bisa didapatkan oleh para korban jika mereka (korban) memiliki kesadaran hukum yang cukup. Hal tersebut harus pula didukung oleh sosialisasi dari pemerintah akan hal ini.
Selain faktor tersebut, terdapat beberapa faktor-faktor lanilla. Ennis mengungkapkan paling tidak ada enam alasan bagi korban shingga tidak melaporkan kejahatan yang terjadi yaitu:
1. Identification with the ofender as opposed to the police ;
2. A belief that the act was not a crime ;
3. Fear or physical harm repsisal by offender or friends and associates of offender ;
4. Economic loss through usually increased insurance rates ;
5. Unwillingness to get envolved ; and
6. Loss faith in police effectiveness.
Dalam hal yang sama, Box mengemukakan beberapa alasan lain mengana korban tidak melapor, antara lain:
a. Korban menyadari dirinya menjadi korban kejahatan akan tetapi tidak bersedia melapor dikarenakan korban menganggap polisi tidak effisien dan/atau korban menganggap masalah yang dihadapi merupakan urusan pribadi sehingga dapat diselesaikan secara ekstra yudisial dan untuk menghindari rasa malu serta tersemarnya harga diri ;
b. Korban tidak menyadari dirinya menjadi korban kejahatan, misalnya pada korban penipuan ;
c. Korban yang bersifat abstrae sulit untuk ditentukan secara jelas ;
d. Korban terlibat pula dalam kejahatan ;
e. Secara resmi tidak menjadi korban karena adanya kewenangan (diskresi) dan kebijakan dalam rangka penegakkan hukum.
Terlepas daripada faktor-faktor tersebut, dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara tegas telah diatur bentuk perlindungan hukum ini, demikian pula dalam UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, Pasal 27 ayat (1) huruf (a) yang merumuskan bahwa kejaksaan bertugas melakukan penuntutan dalam perkara pidana, meskpipun dalam menjalankan tugasnya untuk dan atas nama negara, akan tetapi juga mewakili korban tidak pidana. Selain itu, di dalam deklarasi PBB tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, telah dirumuskan bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
1. Access to justice and fair treatment ;
2. Restitution ;
3. Compensation ;
4. Assistance.
Korban kejahatan pada umumnya tertuju pada manusia yang mempunyai hak dan kewajiban serta menuntut perlakuan yang sama dengan orang lain, termasuk perlakuan terhadap pelaku kejahatan. Jaminan perlakuan terhadap korban seringkali dituntut, karena merupakan salah satu bentuk perlindungan. Upaya penegakkan hukum tidak akan membawa hasil manakala tidak diimbagi dengan perasaan keadilan, termasuk didalamnya rasa keadilan para korban kejahatan.
Adanya kecenderungan sikap korban yang pasif dan bahkan non-kooperatif (uncooperative victims of crime) dengan aparat penegak hukum, merupakan salah satu bukti konkrit dari kurangnya perhatian sistem peradilan pidana terhadap hak-hak dan perlindungan hukum korban kejahatan. Belum lagi ditambah dengan kecenderungan yang “offender centered” yang mengakibatkan kurangnya dukungan korban terhadap sistem peradilan pidana. Sikap kurang loyal di atas akan lebih mengemuka manakala korban harus pula berfungsi sebagai saksi yang memberikan kesaksian secara benar dibawah sumpah. Jika ternyata kesaksian korban tidak benar atau palsu dan memberatkan tersangka atau terdakwa, ia diancam dengan pidana penjara maksimal sembilan bulan (Pasal 242 ayat (2) KUHP) dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu.
Dengan kata lain, sikap positif dan mengayomi serta kepercayaan korban terhadap kemampuan aparat sistem peradilan pidana akan mempengaruhi besar kecilnya tingkat kepatuhan korban terhadap sistem yang berlaku. Schneider, sebagaimana dikutip oleh Mc. Donald mengemukakan bahwa:
“if the victim has more positive attitudes toward the police, is more trusting of the police, then the probability of reporting is greater; if the victim relieves the police and other law enforcement institutions are effective, then the probability of reporting is greater”.
Kurangnya kepercayaan korban terhadap peradilan pidana yang tercermin dari banyaknya korban yang tidak melapor, merupakan kegagalan sistem peradilan pidana, baik dalam menata sistem maupun dalam mencapai tujuan akhir. Dalam hal yang terakhir, selain harus berpedoman kepada ketentuan tertulis harus pula diperhatikan moral yang didasarkan pada kebenaran dalam melihat suatu perkara. Oleh karenanya setiap sub-sistem dalam sistem peradian pidana senantiasa memiliki tanggung jawab berupa tanggung jawab hukum untuk menegakkan hukum negara dan tanggung jawab moral untuk mlindungi, memulihkan dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia. Apabila terjadi penyimpangan terhadap kedua tanggung jawab di atas maka akan menimbulkan efek negatif terhadap tersangka maupun korban. Dengan kata lain, penyimpangan di atas akan menjadikan sistem peradilan pidana sebagai faktor kriminogen dan sekaligus faktor viktimogen. Terhadap tersangka, ia akan menjadi korban struktural (structural victims), misalnya karena penangkapan dan penahanan yang tidak sah, sedangkan terhadap korban selain ia telah menjadi korban kejahatan harus pula menjadi korban sistem peradilan pidana yang dalam mekanismenya kurang memperhatikan hak-hak dan perlindungan korban yang merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.
Dalam berbagai hal, sifat uncooperative victims of crime dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, adapun beberapa alasan lainnya yang dimaksud, adalah:
1. Karena menyangkut nama baik dan masa depan, korban mengambil jarak dengan sikap tidak melaporkan terutama dalam kasus tindak pidana kesusilaan ;
2. Korban lebih menghendaki penyelesaian secara kekeluargaan dan tidak menghendaki pelakunya dipidana ;
3. Korban merasa khawatir terhadap encaman balas dendam dari pelaku ;
4. Korban merasa bahwa nilai kerugian yang ditimbulkan tidak begitu berarti.
Dengan mengamati sikap uncooperative di atas, maka perumusan sarana hukum yang jelas bagi perlindungan terhadap korban akan memberikan landasan berpijak secara yuridis bagi korban untuk meminta dan menuntut keadilan. Hal ini tentunya perlu diikuti dengan langkah sosialisasi dari sejumlah ketentuan kepada masyarakat, agar terdapat persamaan persepsi mengenai kedudukan dan status hukum korban. Selain itu perlu juga adanya pemberdayaan sarana hukum yang telah ada, dalam hal pemberian ganti kerugian baik dari pelaku maupun dari pemerintah kepada korban harus lebih ditekankan kembali sebagai langkah yang mempunyai landasan yang cukup rasional, yang apabila dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti kerugian harus terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materil dan segala biaya yang telah dikeluarkan serta merupakan pemuasan emocional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Dalam hubungan ini Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu:
a. Meringankan beban penderitaan korban ;
b. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku ;
c. Sebagai salah satu cara untuk merehabilitasi terpidana ;
d. Mempermudah proses peradilan pidananya ;
e. Mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.
Keberpihakan kepada korban akan lebih bermakna manakala diamati betapa peran korban dalam proses peradilan pidana (terutama dalam proses penyidikan) yang dinilai cukup penting, karena keengganan korban untuk melapor ataupun memberikan kesaksian berupa informasi tentang kejahatan merupakan suatu hambatan serius bagi aparat penegak hukum. Sehingga, apabila dilihat dari segi pengendalian kejahatan (control of crimes), upaya pengamanan diri merupakan salah satu cara yang cukup effektif mengingat keterbatasan sumber daya polisi dalam mencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Namun, tetap saja langkah ini harus didukung dengan pola kerjasama antara masyarakat dan polisi yang didasari pada tujuan yang sama.
Dengan demikian yang perlu kita garis bawahi mengenai perlindungan hukum bagi korban kejahatan, yang apabila kita kaitkan dengan sistem peradilan pidana yang mana fokus utamanya adalah bagaimana mengembalikan pelaku kejahatan ke dalam masyarakat, maka bagaiman sikap anggota masyarakat termasuk korban di dalamnya merupakan faktor yang patut diperhitungkan. Tentu saja penerimaan masyarakat yang demikian akan lebih mudah terwujud jika segala akibat negatif yang diderita masyarakat (korban) dapat dihilangkan, baik penderitaan fisik maupun non-fisik. Penderitaan yang maĆz berbekas dan dialami korban merupakan hambatan atau paling tidak akan mempengaruhi sikap masyarakat, terutama korban dalam menerima kembali kehadiaran pelaku di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dalam hal yang demikian, diperlukan perlindungan hukum yang proaktif bagi masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya kepada korban kejahatan dalam arti sempit semata.
Sedangkan berbicara mengenai hak-hak korban, terdapat hak kompensasi dan restitusi sebagaimana juga disebutkan di dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, dimana berdasarkan deklarasi ini hak-hak korban secara umum adalah mendapatkan:
1. Restitusi
Pelaku tindakan pidana bertanggung jawab untuk memberikan restitusi kepada korban. Restitusi adalah pemberian ganti kerugian sepenuhnya atau sebagian oleh pihak pelaku kepada pihak korban, apabila yang bersangkutan mampu memberikannya. Soeharto (2007) juga memberikan gambaran bagaimana proses mengajukan restitusi. Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan pengadilan dan pelaku memberikan restitusi paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan. Sebagaimana dalam pelaksanaan pemberian kompensasi dalam pemberian restitusi pelaku atau pihak ketiga juga melaporkan pelaksanaannya kepada Ketua Pengadilan dengan disertai tanda bukti dan kepada korban atau ahli warisnya diberikan restitusi oleh pelaku.
Pengadilan setelah menerima tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga akan mengumumkan pelaksanaan pemberian restitusi tersebut pada papan pengumuman pengadilan. Bila sampai dengan batas waktu 60 (enam puluh) hari korban atau ahli warisnya belum menerima pemberian restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutrnya pengadilan segera memerintahkan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
2. Kompensasi
Apabila pelaku tindak pidana tidak melakukan restitusi kepada korban, maka negara berkewajiban mengusahakan kompensasi finansial kepada korban. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa kompensasi adalah pemberian ganti kerugian oleh pihak pemerintah, dikarenakan pihak pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Pemerintah memberikan ganti kerugian ini adalah semata-mata dalam rangka mengembangkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan rakyat, dan bukan karena bersalah. Menurut Gosita (2001) kompensasi ini merupakan uluran tangan negara sebagai perwujudan perhatian pemerintah terhadap permasalahan penduduk.
Korban atau kuasanya dapat mengajukan permohonan kompensasi dan bukti pelaksanaannya kepada Menteri Keuangan setelah menerima permohonan dari korban atau kuasanya paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan memberikan kompensasi tersebut. Pengertian kompensasi dalam UU No.15 tahun 2003 adalah penggantian yang bersifat materiil dan immateriil. Soeharto (2007) memberikan bagaimana proses pelaksanaan pemberian kompensasi kepada para korban. Pelaksanaan pemberian kompensasi oleh Menteri Keuangan dilaporkan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut, dengan disertai tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi dimaksud dan untuk korban atau ahli warisnya akan mendapat salinan tanda bukti pemberian kompensasi tersebut.
Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti dari pelaksanaan pemberian kompensasi tersebut, kemudian Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian kompensasi pada papan pengumuman pengadilan dimana perkara tersebut diputuskan. Bilamana sampai batas waktu 60 (enam puluh) hari telah lewat dan korban atau ahli warisnya belum menerima kompensasi maka korban atau ahli warisnya dapat melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri dan selanjutnya pengadilan atas laporan korban atau ahli warisnya segera memerintahkan untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung seja tanggal perintah tersebut diterima. Soeharto (2007) menambahkan bahwa dalam UU No.15 Tahun 2003 tidak dicantumkan tentang berapa besarnya kompensasi yang harus diterima oleh korban, demikian pula tentang perincian apakah seorang yang meninggal dunia dan orang cacat akan mendapatkan kompensasi yang sama serta adanya kerugian-kerugian materiil yang lain, misalnya rumah yang hancur, mobil, atau kendaraan yang rusak diakibatkan adanya tindak pidana terorisme. Termasuk ke dalam pengertian kompensasi dalam UU No.15 tahun 2003 adalah penggantian yang bersifat immateriil tetapi sekali lagi dalam undang-undang ini tidak menentukan bentuk kerugian immateriil yang bagaimana yang akan diberikan berikut nominalnya.
UU No.15 Tahun 2003 sebagaimana layaknya produk undang-undang lainnya, dalam menentukan besarnya masing-masing kerugian materiil dan immateriil akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah sehingga tidak mencantumkan ketentuan tersebut dalam pasal-pasal pemberian kompensasi tersebut. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan karena pemerintah mendapat kebebasan sesuai dengan kemauannya sendiri untuk menentukan kriteria dan besarnya kompensasi terhadap korban.
3. Pendampingan
Korban harus mendapatkan pendampingan medis, psikologis, maupun sosial yang layak baik melalui pemerintah, sukarelawan maupun swadaya masyarakat. Hak pendampingan pada dasarnya merupakan hak yang serupa dengan rehabilitasi, yaitu hak yang diberikan kepada korban untuk mengembalikan kondisi korban kembali seperti semula, baik itu kondisi fisik atau medisnya, maupun kondisi mental atau psikologisnya serta rehabilitasi terkait dengan kehidupannya di masyarakat yaitu dalam bersosialisasi.
Sedangkan mengenai hak-hak korban lainnya sebagai hak-hak yang melengkapi, adalah:
1. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan atau partisipasi dan peranan si korban dalam terjadinya kejahatan ;
2. Korban berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya);
3. Korban berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban beninggal dunia karena tindakan tersebut ;
4. Korban berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi ;
5. Korban berhak mendapat kembali hak miliknya ;
6. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya ;
7. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi ;
8. Korban berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum ;
9. Korban berhak mempergunakan upaya hukum (Rechtsmiddelen).
selain itu juga yang merupakan hak-hak para korban kejahatan di Amerika Serikat adalah :
1. Hak untuk turut serta dalam sistem peradilan kriminal ;
2. Hak untuk memperoleh dana yang disediakan oleh pemerintah sebagai kompensasi korban kejahatan ;
3. Hak untuk menerima restitusi yang diperintahkan oleh peradilan kriminal ;
4. Hak untuk mendapatkan keputusan atas tindakan sipil terhadap kriminalitas, tindakan yang melanggar hukum kecerobohan pihak ketiga ;
5. Hak untuk bebas dari intimidasi ;
6. Hak untuk mendapatkan keuntungan dari eksploitasi versi kejahatan suatu tindak pidana ;
7. Hak untuk mencari alternatif penyelesaian masalah ;
Berbicara mengenai hak tentunya tidak terlepas dari kewajibannya, dimana kewajiban korban kejahatan adalah :
1. Korban tidak diperkenankan melakukan tindakan pembalasan (main hakim sendiri) ;
2. Korban wajib berpartisipasi dengan masyarakat untuk mencegah bertambahnya jumlah korban lebih banyak lagi ;
3. Korban wajib Mencegah kehancuran si pembuat korban, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain ;
4. Korban berkewajiban untuk ikut serta membina pembuat korban (pelaku tindak pidana) ;
5. Korban berkewajiban untuk dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi di kemudian hari ;
6. Korban Tidak diperkenankan untuk menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban ;
7. Korban berkewajiban memberikan kesempatan kepada pembuat korban untuk memberikan kompensasi bagi pihak korban sesuai dengan kemempuannya (mencicil secara bertahap atau imbalan jasa) ;
8. Korban wajib menjadi saksi apabila dibutuhkan dan tidak membahayakan diri sendiri serta terdapat jaminan hukum dan perlindungan atasnya.
Demikianlah beberapa macam hak dan kewajiban pihak korban yang perlu mendapat perhatian untuk dipertimbangkan manfaatnya diatur dalam peraturan perundang-undangan demi keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan rakyat. Hak dan kewajiban korban ini bisa didapatkan oleh para korban jika mereka (korban) memiliki kesadaran hukum yang cukup. Hal tersebut harus pula didukung oleh sosialisasi dari pemerintah akan hal ini.
Mengenal Konsep Bantuan dan Perlindungan Hukum di Indonesia
Istilah bantuan hukum terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya, yaitu:
1. Pasal 35 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.14 Tahun 1970).
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.
2. Tap MPR No.IV/MPR/1978 tentang GBHN, “membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan masyarakat kurang mampu”.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa istilah bantuan hukum harus mengarah kepada kenyataan sosial masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan bantuan hukum harus didasarkan pada beberapa konsep pemikiran, sebagai berikut:
1. A Juridical Right
Bantuan hukum yang berlaku di Eropa memiliki sifat yang individual, dimana konsep ini memungkinkan seseorang untuk dapat menerima bantuan hukum, dan bilamana seseorang tidak mampu maka orang tersebut akan memperoleh bantuan hukum secara prodeo. Dalam konsep ini, yang terjadi adalah bantuan hukum hanya sekedar bantuan hukum. Tidak akan ada suatu perubahan sosial yang mendasar. Masyarakat akan tetap selalu berada dalam struktur yang “injustice”. Masyarakat kaya akan tetap kaya, dan masyarakat miskin akan tetap miskin.
2. A Walfare Right
Bantuan hukum yang berlaku di Amerika Serikat yang berada di bawah “Criminal Justice Act” dan “Economic Opportunity Act”. Bantuan hukum menurut kedua Undang-Undang tersebut adalah suatu bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan (ekonomi) bagi seluruh masyarakat.
Dari kedua konsep pemikiran tersebut diatas, maka bantuan hukum mempunyai 3 pengertian, yaitu:
1. Bantuan hukum dalam arti sempit
Bantuan hukum yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara, yang diberikan secara cuma-cuma, khususnya bagi mereka yang tidak mampu dari segi ekonomi.
2. Bantuan hukum sebagai Legal Assistance
Hal ini dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, maupun pemberian bantuan hukum oleh para advokat, pengacara dengan imbalan jasa berupa “honorarium”.
3. Bantuan hukum sebagai Legal Service
Apabila hal ini dihubungkan dengan permasalahan litigasi, maka pengertian ini sebenarnya tidak menggambarkan pengertian bantuan hukum. Pengertian ini dapat diterima sebagai pelayanan hukum, bila bantuan hukum tersebut berhubungan dengan konsultasi hukum dan penyuluhan hukum.
Selain pengertian-pengertian tersebut, dikenal pula istilah “Public Defender” (pembela hukum), yang menurut Prof. Moelatno, SH merupakan suatu panggilan atau sebutan untuk para pejabat di Amerika Serikat yang ditugaskan pemerintah guna memberikan secara cuma-cuma bagi orang-orang yang tidak mampu membiayai sendiri seorang ahli hukum sebagai pembelanya.
Adapun beberapa pengertian lain terkait bantuan hukum dapat kita lihat di bawah ini, menurut:
1. Seminar Pembinaan Profesi Hukum
“Pengertian bantuan hukum terdiri dari bantuan hukum di dalam dan di luar pengadilan”. Pengeritan bantuan hukum di dalam pengadilan menimbulkan permasalahan Verplichte Procururstelling yang berarti hak dan kewajiban untuk mendapatkan bantuan hukum, dimana hak untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut dilayani sebagai berikut:
- Mewajibkan pengadilan untuk menunjuk secara langsung atau melalui organisasi profesi advokat untuk mendampingi atau mewakili setiap orang yang berurusan di muka pengadilan.
- Mewajibkan seseorang dari kalangan profesi hukum (advokat atau pengacara) untuk memberikan bantuan hukum sebagaimana yang dimaksud di atas.
2. Lokakarya Bantuan Hukum
Lokakarya ini mengusulkan agar bantuan hukum diartikan sebagai pelayanan hukum yang diberikan secara cuma-cuma. Pemberi bantuan hukum adalah perseorangan baik seorang sarjana hukum maupun pengacara-pengacara hukum serta badan-badan atau lembaga-lembaga yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.
3. Santosa Poedjosoebroto
Mengutip pendapat K. Smith dan D.J Keenan, Santoso Poedjosoebroto berpendapat bahwa:
“Bantuan hukum atau legal aid adalah bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari seseorang yang berperkara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu secara ekonominya sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seseorang yang diberi kuasa tersebut yaitu pembela atau pengacara”.
Berdasarkan keseluruhan pengertian yang diberikan diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jelaslah pemberian bantuan hukum hendaknya diarahkan kepada pemuasan rasa keadilan masyarakat secara luas, jangan hanya kepada sekelompok kecil orang saja. Apalagi mayoritas masyarakat di Indonesia secara ekonomi masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan dan masih banyak juga masyarakat Indonesia yang buta terhadap hukum.
Sedangkan mengenai perlindungan hukum itu sendiri, pada dasarnya juga merupakan suatu hak asasi setiap individu yang sudah sepantasnya pula dijamin di oleh UUD dan menjadi tanggung jawab daripada negara untuk melaksanakannya. Oleh karena itu perlindungan hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan-peraturan yang memberi pengakuan atas serangkaian hak yang wajib dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan harkat dan martabatnya yang hakiki. Terkait mengenai dasar hukum daripada perlindungan hukum itu sendiri, dapat kita temui di dalam beberapa hukum positif yang berlaku di Indonesia pada saat ini, dimana dapat kita lihat antara lain sebagaimana berikut:
1. UUD Republik Indonesia Tahun 1945 ;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan ;
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ;
4. Undang-Undang Nomr 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jo. Keppres RI Nomr 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM ;
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia; dll.
Meskipun perlindungan hukum secara implisit sudah tertuang diberbagai peraturan perundang-undangan, tentu saja tidak serta merta dapat terimplementasikan dengan sendirinya. Karena, sesungguhnya masih diperlukan beragam kegiatan dan desakan dari berbagai pihak terhadap aparatur hukum agar dengan secara sukarela maupun dengan terpaksa dapat mengimplementasikan peraturan-peraturan tersebut. Di samping itu faktor pengetahuan dan pemahaman terhadap beragam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan bantuan dan perlindungan hukum menjadi sangat relevan dan urgen. Jelasnya faktor kesadaran dan pemahaman terhadap ketentuan yang terkait dengan bantuan dan perlindungan hukum yang tercantum di dalam berbagai regulasi tersebut dapat menjadi faktor determinan bagi penerapan regulasi tersebut. Di sinilah letak relevansi bantuan hukum dengan aspek perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum menjadi suatu mekanisme penjaminan yang menjamin terlaksananya proses bantuan hukum yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan baik terhadap terdakwa atau tersangka maupun terhadap korban tindak pidana.
Terkait pengaturannya dalam hukum positif, berbeda dengan apa yang telah diatur di dalam konstitusi di beberapa negara lain seperti dan negara lainnya India, Filipina, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara lainnya yang telah secara tegas mencantumkan hak untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam konstitusi negaranya masing-masing. Di dalam UUD 1945 tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal batang tubuhnya mengenai hak untuk mendapatkan bantuan hukum ini.
Meskipun Indonesia tidak secara tegas mencantumkan dalam konstitusinya mengenai konsep pemberian hak untuk mendapatkan bantuan hukum, namun dengan adanya pasal 34 jo. 28D UUD 1945 mengenai asas persamaan di muka umum, maka asas ini mempunyai korelasi yang sangat erat dengan asas penunjangnya yaitu asas mendapatkan bantuan hukum. Tidak dicantumkannya asas mendapatkan bantuan hukum dalam UUD 1945 dikarenakan biar bagaimanapun sifat dari suatu batang tubuh sebuah konstitusi negara cukuplah hanya dengan memuat asas-asas dasarnya saja dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang diinginkan oleh suatu negara.
Diberikannya hak mendapatkan bantuan hukum oleh negara sebagai suatu konsekuensi logis dari diberikannya hak-hak tertentu oleh rakyat kepada negara, maka pemerintah berkewajiban untuk bukan saja melindungi setiap warga negaranya terhadap sesama warga negara, yakni orang yang satu dengan orang yang lain, tetapi juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negara oleh negara atau pemerintah itu sendiri.
KUHAP dalam penjelasan umumnya mengkritik HIR karena belum memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Untuk menegaskan bahwa KUHAP berbeda dengan HIR maka HAM mendapat porsi yang besar dalam pengaturan pasal-pasalnya. Pasal 54 KUHAP, menggariskan guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk didampingi oleh seorang atau lebih penasehat hukum. Bahkan pada perkara-perkara dengan ancaman hukuman tertentu penunjukkan penasehat hukum guna mendampingi pembelaan seorang tersangka adalah wajib sifatnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan dirubah kembali dengan UU No. 4 Tahun 2004, melalui Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 , memberikan kesempatan kepada tersangka atau terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam menjalani proses pidana.
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia , Pasal 18 ayat (4), menyatakan bahwa “setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Sangat disayangkan UU ini tidak memberikan ancaman sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran terhadap hak mendapatkan bantuan hukum tersebut, sehingga membuat pasal tersebut sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 54 KUHAP.
Di Indonesia untuk mendapatkan bantuan hukum harus diupayakan pemenuhannya, baik oleh tersangka atau terdakwa sendiri yang didasarkan pada Pasal 54 KUHAP, ataupun pemenuhannya dilakukan oleh Negara yang didasarkan pada Pasal 56 KUHAP. Namun sekali lagi, permasalahan mengenai bantuan hukum di dalam kancah perundang-undangan nasional, baik itu KUHAP maupun undang-undang lainnya yang berkenaan tidak pula mengatur mengenai bantuan dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana, jangankan bagi korban tindak pidana bagi seorang tersangka atau terdakwa yang tidak lain merupakan pelaku (kriminal) tindak pidana sekalipun permasalahan bantuan hukum bagi mereka kerap kali menjadi masalah, baik di dalam persidangan maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, dengan berkembangnya problematika hukum tersebut dimana bantuan dan perlindungan hukum tidak hanya dibutuhkan bagi seorang terdakwa atau tersangka tetapi juga sangat dibutuhkan bagi para korban tindak pidana, karena pada dasarnya bantuan hukum bagi mereka sangatlah penting untuk menjamin terpenuhinya hak-hak mereka, serta terciptanya rasa keadilan.
Maka dari itu, sudah sepantasnya pemerintah menerapkan undang-undang baru yang membahas dan mengatur permasalahan bantuan dan perlindungan hukum ini secara khusus dan mendetail baik di dalam lingkup teoritis maupun praktik. Berbicara mengenai hal tersebut, saat ini para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memang sedang membahas mengani Rancangan Undang-Undang (RUU) Bantuan Hukum, akan tetapi sangat disayangkan hingga saat ini RUU tentang bantuan hukum masih juga belum disahkan, bahkan RUU ini tidak termasuk ke dalam 284 Daftar Rancangan Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005-2009 . Padahal terbentuknya UU tentang Bantuan Hukum ini telah diamanatkan oleh UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman Pasal 38, yang menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan Pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka Menteri Kehakiman pada saat itu telah mengeluarkan, Surat Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan bantuan Hukum, Tanggal 1 Juni 1980 yang diubah dengan Surat Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.01.UM.08.10 Tahun 1981 Tentang Perubahan dan Perbaikan SI Menteri Kehakiman Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum.
Surat Instruksi Menteri Kehakiman tersebut di atas dalam perkembangannya kemudian dirubah kembali dengan Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.01-UM.08.10 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu melalui lembaga bantuan hukum, dan disempurnakan kembali dengan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-UM.08.10 Tahun 1996.
Di dalam bagian menimbangnya, surat keputusan ini menyatakan bahwa dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan, perlu adanya pemerataan bantuan hukum khusus bagi mereka yang tidak atau kurang mampu. Pasal 1 ayat (2) “bantuan hukum diberikan kepada tertuduh yang tidak atau kurang mampu dalam perkara pidana:
1. Yang diancam dalam pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati.
2. Yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun, tetapi perkara tersebut menarik perhatian masyarakat”.
sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) “dalam hal tertuduh menyatakan bahwa ia tidak atau kurang mampu untuk membiayai pemberi bantuan hukum, maka disyaratkan adanya surat keterangan dari pejabat yang berwenang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku (antara lain kepala desa, camat, kepala kepolisian, kepala kejaksaan negeri, dan kepala kantor sosial setempat)”.
Pada tahun 1999 kementrian kehakiman juga telah secara khusus, mengeluarkan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03-UM.06.02 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksaan Program Bantuan hukum Bagi Golongan Masyarakat Yang Kurang Mampu Melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Melihat substansi dari pada ketentuan-ketentuan diatas, sangat disayangkan bahwa saja ketentuan-ketentuan tersebut masih dirasa belum sempurna dan tidak memenuhi rasa keadilan dalam konteks hubungannya dengan korban, karena tidak adanya pengaturan bantuan dan perlindungan hukum bagi korban di dalamnya, padahal korban lah yang sejatinya lebih membutuhkan bantuan dan perlindungan hukum tersebut untuk mendapatkan hak-haknya seperti hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
1. Pasal 35 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.14 Tahun 1970).
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.
2. Tap MPR No.IV/MPR/1978 tentang GBHN, “membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan masyarakat kurang mampu”.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa istilah bantuan hukum harus mengarah kepada kenyataan sosial masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan bantuan hukum harus didasarkan pada beberapa konsep pemikiran, sebagai berikut:
1. A Juridical Right
Bantuan hukum yang berlaku di Eropa memiliki sifat yang individual, dimana konsep ini memungkinkan seseorang untuk dapat menerima bantuan hukum, dan bilamana seseorang tidak mampu maka orang tersebut akan memperoleh bantuan hukum secara prodeo. Dalam konsep ini, yang terjadi adalah bantuan hukum hanya sekedar bantuan hukum. Tidak akan ada suatu perubahan sosial yang mendasar. Masyarakat akan tetap selalu berada dalam struktur yang “injustice”. Masyarakat kaya akan tetap kaya, dan masyarakat miskin akan tetap miskin.
2. A Walfare Right
Bantuan hukum yang berlaku di Amerika Serikat yang berada di bawah “Criminal Justice Act” dan “Economic Opportunity Act”. Bantuan hukum menurut kedua Undang-Undang tersebut adalah suatu bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan (ekonomi) bagi seluruh masyarakat.
Dari kedua konsep pemikiran tersebut diatas, maka bantuan hukum mempunyai 3 pengertian, yaitu:
1. Bantuan hukum dalam arti sempit
Bantuan hukum yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara, yang diberikan secara cuma-cuma, khususnya bagi mereka yang tidak mampu dari segi ekonomi.
2. Bantuan hukum sebagai Legal Assistance
Hal ini dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, maupun pemberian bantuan hukum oleh para advokat, pengacara dengan imbalan jasa berupa “honorarium”.
3. Bantuan hukum sebagai Legal Service
Apabila hal ini dihubungkan dengan permasalahan litigasi, maka pengertian ini sebenarnya tidak menggambarkan pengertian bantuan hukum. Pengertian ini dapat diterima sebagai pelayanan hukum, bila bantuan hukum tersebut berhubungan dengan konsultasi hukum dan penyuluhan hukum.
Selain pengertian-pengertian tersebut, dikenal pula istilah “Public Defender” (pembela hukum), yang menurut Prof. Moelatno, SH merupakan suatu panggilan atau sebutan untuk para pejabat di Amerika Serikat yang ditugaskan pemerintah guna memberikan secara cuma-cuma bagi orang-orang yang tidak mampu membiayai sendiri seorang ahli hukum sebagai pembelanya.
Adapun beberapa pengertian lain terkait bantuan hukum dapat kita lihat di bawah ini, menurut:
1. Seminar Pembinaan Profesi Hukum
“Pengertian bantuan hukum terdiri dari bantuan hukum di dalam dan di luar pengadilan”. Pengeritan bantuan hukum di dalam pengadilan menimbulkan permasalahan Verplichte Procururstelling yang berarti hak dan kewajiban untuk mendapatkan bantuan hukum, dimana hak untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut dilayani sebagai berikut:
- Mewajibkan pengadilan untuk menunjuk secara langsung atau melalui organisasi profesi advokat untuk mendampingi atau mewakili setiap orang yang berurusan di muka pengadilan.
- Mewajibkan seseorang dari kalangan profesi hukum (advokat atau pengacara) untuk memberikan bantuan hukum sebagaimana yang dimaksud di atas.
2. Lokakarya Bantuan Hukum
Lokakarya ini mengusulkan agar bantuan hukum diartikan sebagai pelayanan hukum yang diberikan secara cuma-cuma. Pemberi bantuan hukum adalah perseorangan baik seorang sarjana hukum maupun pengacara-pengacara hukum serta badan-badan atau lembaga-lembaga yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.
3. Santosa Poedjosoebroto
Mengutip pendapat K. Smith dan D.J Keenan, Santoso Poedjosoebroto berpendapat bahwa:
“Bantuan hukum atau legal aid adalah bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari seseorang yang berperkara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu secara ekonominya sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seseorang yang diberi kuasa tersebut yaitu pembela atau pengacara”.
Berdasarkan keseluruhan pengertian yang diberikan diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jelaslah pemberian bantuan hukum hendaknya diarahkan kepada pemuasan rasa keadilan masyarakat secara luas, jangan hanya kepada sekelompok kecil orang saja. Apalagi mayoritas masyarakat di Indonesia secara ekonomi masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan dan masih banyak juga masyarakat Indonesia yang buta terhadap hukum.
Sedangkan mengenai perlindungan hukum itu sendiri, pada dasarnya juga merupakan suatu hak asasi setiap individu yang sudah sepantasnya pula dijamin di oleh UUD dan menjadi tanggung jawab daripada negara untuk melaksanakannya. Oleh karena itu perlindungan hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan-peraturan yang memberi pengakuan atas serangkaian hak yang wajib dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan harkat dan martabatnya yang hakiki. Terkait mengenai dasar hukum daripada perlindungan hukum itu sendiri, dapat kita temui di dalam beberapa hukum positif yang berlaku di Indonesia pada saat ini, dimana dapat kita lihat antara lain sebagaimana berikut:
1. UUD Republik Indonesia Tahun 1945 ;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan ;
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ;
4. Undang-Undang Nomr 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jo. Keppres RI Nomr 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM ;
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia; dll.
Meskipun perlindungan hukum secara implisit sudah tertuang diberbagai peraturan perundang-undangan, tentu saja tidak serta merta dapat terimplementasikan dengan sendirinya. Karena, sesungguhnya masih diperlukan beragam kegiatan dan desakan dari berbagai pihak terhadap aparatur hukum agar dengan secara sukarela maupun dengan terpaksa dapat mengimplementasikan peraturan-peraturan tersebut. Di samping itu faktor pengetahuan dan pemahaman terhadap beragam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan bantuan dan perlindungan hukum menjadi sangat relevan dan urgen. Jelasnya faktor kesadaran dan pemahaman terhadap ketentuan yang terkait dengan bantuan dan perlindungan hukum yang tercantum di dalam berbagai regulasi tersebut dapat menjadi faktor determinan bagi penerapan regulasi tersebut. Di sinilah letak relevansi bantuan hukum dengan aspek perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum menjadi suatu mekanisme penjaminan yang menjamin terlaksananya proses bantuan hukum yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan baik terhadap terdakwa atau tersangka maupun terhadap korban tindak pidana.
Terkait pengaturannya dalam hukum positif, berbeda dengan apa yang telah diatur di dalam konstitusi di beberapa negara lain seperti dan negara lainnya India, Filipina, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara lainnya yang telah secara tegas mencantumkan hak untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam konstitusi negaranya masing-masing. Di dalam UUD 1945 tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal batang tubuhnya mengenai hak untuk mendapatkan bantuan hukum ini.
Meskipun Indonesia tidak secara tegas mencantumkan dalam konstitusinya mengenai konsep pemberian hak untuk mendapatkan bantuan hukum, namun dengan adanya pasal 34 jo. 28D UUD 1945 mengenai asas persamaan di muka umum, maka asas ini mempunyai korelasi yang sangat erat dengan asas penunjangnya yaitu asas mendapatkan bantuan hukum. Tidak dicantumkannya asas mendapatkan bantuan hukum dalam UUD 1945 dikarenakan biar bagaimanapun sifat dari suatu batang tubuh sebuah konstitusi negara cukuplah hanya dengan memuat asas-asas dasarnya saja dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang diinginkan oleh suatu negara.
Diberikannya hak mendapatkan bantuan hukum oleh negara sebagai suatu konsekuensi logis dari diberikannya hak-hak tertentu oleh rakyat kepada negara, maka pemerintah berkewajiban untuk bukan saja melindungi setiap warga negaranya terhadap sesama warga negara, yakni orang yang satu dengan orang yang lain, tetapi juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negara oleh negara atau pemerintah itu sendiri.
KUHAP dalam penjelasan umumnya mengkritik HIR karena belum memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Untuk menegaskan bahwa KUHAP berbeda dengan HIR maka HAM mendapat porsi yang besar dalam pengaturan pasal-pasalnya. Pasal 54 KUHAP, menggariskan guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk didampingi oleh seorang atau lebih penasehat hukum. Bahkan pada perkara-perkara dengan ancaman hukuman tertentu penunjukkan penasehat hukum guna mendampingi pembelaan seorang tersangka adalah wajib sifatnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan dirubah kembali dengan UU No. 4 Tahun 2004, melalui Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 , memberikan kesempatan kepada tersangka atau terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam menjalani proses pidana.
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia , Pasal 18 ayat (4), menyatakan bahwa “setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Sangat disayangkan UU ini tidak memberikan ancaman sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran terhadap hak mendapatkan bantuan hukum tersebut, sehingga membuat pasal tersebut sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 54 KUHAP.
Di Indonesia untuk mendapatkan bantuan hukum harus diupayakan pemenuhannya, baik oleh tersangka atau terdakwa sendiri yang didasarkan pada Pasal 54 KUHAP, ataupun pemenuhannya dilakukan oleh Negara yang didasarkan pada Pasal 56 KUHAP. Namun sekali lagi, permasalahan mengenai bantuan hukum di dalam kancah perundang-undangan nasional, baik itu KUHAP maupun undang-undang lainnya yang berkenaan tidak pula mengatur mengenai bantuan dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana, jangankan bagi korban tindak pidana bagi seorang tersangka atau terdakwa yang tidak lain merupakan pelaku (kriminal) tindak pidana sekalipun permasalahan bantuan hukum bagi mereka kerap kali menjadi masalah, baik di dalam persidangan maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, dengan berkembangnya problematika hukum tersebut dimana bantuan dan perlindungan hukum tidak hanya dibutuhkan bagi seorang terdakwa atau tersangka tetapi juga sangat dibutuhkan bagi para korban tindak pidana, karena pada dasarnya bantuan hukum bagi mereka sangatlah penting untuk menjamin terpenuhinya hak-hak mereka, serta terciptanya rasa keadilan.
Maka dari itu, sudah sepantasnya pemerintah menerapkan undang-undang baru yang membahas dan mengatur permasalahan bantuan dan perlindungan hukum ini secara khusus dan mendetail baik di dalam lingkup teoritis maupun praktik. Berbicara mengenai hal tersebut, saat ini para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memang sedang membahas mengani Rancangan Undang-Undang (RUU) Bantuan Hukum, akan tetapi sangat disayangkan hingga saat ini RUU tentang bantuan hukum masih juga belum disahkan, bahkan RUU ini tidak termasuk ke dalam 284 Daftar Rancangan Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005-2009 . Padahal terbentuknya UU tentang Bantuan Hukum ini telah diamanatkan oleh UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman Pasal 38, yang menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan Pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka Menteri Kehakiman pada saat itu telah mengeluarkan, Surat Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan bantuan Hukum, Tanggal 1 Juni 1980 yang diubah dengan Surat Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.01.UM.08.10 Tahun 1981 Tentang Perubahan dan Perbaikan SI Menteri Kehakiman Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum.
Surat Instruksi Menteri Kehakiman tersebut di atas dalam perkembangannya kemudian dirubah kembali dengan Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.01-UM.08.10 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu melalui lembaga bantuan hukum, dan disempurnakan kembali dengan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-UM.08.10 Tahun 1996.
Di dalam bagian menimbangnya, surat keputusan ini menyatakan bahwa dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan, perlu adanya pemerataan bantuan hukum khusus bagi mereka yang tidak atau kurang mampu. Pasal 1 ayat (2) “bantuan hukum diberikan kepada tertuduh yang tidak atau kurang mampu dalam perkara pidana:
1. Yang diancam dalam pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati.
2. Yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun, tetapi perkara tersebut menarik perhatian masyarakat”.
sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) “dalam hal tertuduh menyatakan bahwa ia tidak atau kurang mampu untuk membiayai pemberi bantuan hukum, maka disyaratkan adanya surat keterangan dari pejabat yang berwenang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku (antara lain kepala desa, camat, kepala kepolisian, kepala kejaksaan negeri, dan kepala kantor sosial setempat)”.
Pada tahun 1999 kementrian kehakiman juga telah secara khusus, mengeluarkan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03-UM.06.02 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksaan Program Bantuan hukum Bagi Golongan Masyarakat Yang Kurang Mampu Melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Melihat substansi dari pada ketentuan-ketentuan diatas, sangat disayangkan bahwa saja ketentuan-ketentuan tersebut masih dirasa belum sempurna dan tidak memenuhi rasa keadilan dalam konteks hubungannya dengan korban, karena tidak adanya pengaturan bantuan dan perlindungan hukum bagi korban di dalamnya, padahal korban lah yang sejatinya lebih membutuhkan bantuan dan perlindungan hukum tersebut untuk mendapatkan hak-haknya seperti hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Assistance and Legal Protection
The concept of the assistance and law protective which is stipulated in KUHAP, so far is not sufficient for base of the law crime. The concept is merely designated only for the suspects and the one who charged for crime act. It is also what so mentioned in UU No.18/2003 etc. Meanwhile, in the application of Human Rights, in reality and as a matter of fact, UU No.39/1999 (article 3 point (2), and article 5 point (2) and (3) is still not exactly as the requirement of constitution and UU Human Rights in which it is required that such rights for assistance/support and law protection for the all concerns including the victims of the crime act as well.
In the meantime, the directive of the assistance and law protective stipulated in UU No.8/1981, UU No.15/2003, UU No.13/2006, UU No. 26/2000, UU No. 18/2003 etc, also KUHAP in application of formal law in its practice, even it does not give the law guarantee in formal and clear manner, so that it can weaken the struggle to fulfill the rights of victims. As a matter of facts, the government is not capable yet to perform such rights in forms of material and immatery for the victims of the crime. Such as in Terorism, the need of the compensation, restitution, rehabilitation can not be applied yet, because, the subjects which is stipulated in article 36 No. 15/2003 is still unclear and difficult to apply. This conditions which still not be along with the victims requirement, becoming the proof that the government just look the victims anonimly, not only for the terrorism victims but also to the victims of the crime in general.
In the meantime, the directive of the assistance and law protective stipulated in UU No.8/1981, UU No.15/2003, UU No.13/2006, UU No. 26/2000, UU No. 18/2003 etc, also KUHAP in application of formal law in its practice, even it does not give the law guarantee in formal and clear manner, so that it can weaken the struggle to fulfill the rights of victims. As a matter of facts, the government is not capable yet to perform such rights in forms of material and immatery for the victims of the crime. Such as in Terorism, the need of the compensation, restitution, rehabilitation can not be applied yet, because, the subjects which is stipulated in article 36 No. 15/2003 is still unclear and difficult to apply. This conditions which still not be along with the victims requirement, becoming the proof that the government just look the victims anonimly, not only for the terrorism victims but also to the victims of the crime in general.
Langganan:
Postingan (Atom)