Rabu, 23 Maret 2011

Kompleksitas UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

Polemik atas Rencana Pengambilalihan PT. Indosiar Karya Media, Tbk. oleh PT. Elang Mahkota Teknologi, Tbk. melalui perjanjian jual bersyarat dengan PT. Prima Visualindo pemegang 551.708.684 saham (27,24%) dalam PT. Indosiar Karya Media, Tbk. (IDKM) dengan tujuan untuk mengendalikan IDKM sebagaimana yang diumumkan pada beberapa harian media massa baru-baru ini telah menimbulkan sejumlah tanda tanya besar, dimana hal ini sepertinya didiamkan dan dibiarkan terjadi bahkan adanya indikasi telah di"restui" oleh pemerintah.

Sejatinya pengambilalihan tersebut akan "melanggar" ketentuan konstitusi atau perundang-undangan kita, dimana hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dibawah satu badan hukum dengan melampaui batas, sehingga akan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran yang menyatakan “pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”, pembatasan sebagaimana dimaksud ditetapkan dalam Pasal 32 PP No.50 Tahun 2005 antara lain: ayat (1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:

a) satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda ;

b) paling banyak memiliki saham sebesar 100% pada badan hukum kesatu ;

c) paling banyak memiliki saham sebesar 49% pada badan hukum kedua;

d) paling banyak memiliki saham sebesar 20% pada badan hukum ketiga;

e) paling banyak memiliki saham sebesar 5% pada badan hukum keempat dan seterusnya;

f) badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.

Sedangkan, pelanggaran atas ketentuan ini dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Penyiaran.

Selain itu, rencana pengambilalihan tersebut akan pula mengakibatkan terjadinya "pelanggaran" terhadap ketentuan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang menyatakan bahwa Ijin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangakan kepada pihak lain, lebih jelas dijabarkan dalam penjelasan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang merumuskan mengenai contoh-contoh bentuk pemindahtanganan yang dilarang itu dengan menyebutkan “yang dimaksud dengan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangkan kepada pihak lain, misalnya Ijin Penyelenggaraan Penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain”. Sedangkan, pelanggaran atas ketentuan ini dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Penyiaran.

Namun, terlepas dari hal tersebut pada prakteknya "pelanggaran" serupa telah juga dibiarkan oleh pemerintah tekait Penguasaan saham PT. Media Nusantara Citra, Tbk. (MNC), yang menguasai saham RCTI (99%), Global TV (99%) dan TPI/MNC TV (75%) di Jakarta, tentunya hal ini jelas-jelas melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud diatas serta ketentuan Pasal 20 UU Penyiaran yang menyebutkan bahwa sebuah lembaga penyiaran hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran dalam satu cakupan wilayah siaran. Sehubungan hal tersebut, ada upaya untuk melakukan revisi atas ketentuan UU Penyiaran yang disinyalir justru akan merugikan masyarakat dan sarat akan pembelaan terhadap para pengusaha atau korporasi terkait, dan nampaknya hal inilah yang menyebabkan sejumlah tokoh masyarakat, praktisi hukum serta organisasi masyarakat melayangkan gugatan publik kepada Kemkominfo, KPI, Bapepam, serta Komisi I dan III DPR RI.

Fakta-fakta secara intelektualitas yuridis tersebut diatas terkait "pelanggaran" yang dimaksud sepertinya menjadi sesuatu yang sia-sia apabila kita mengingat dan membaca bunyi ketentuan Pasal 32 ayat (3) PP No.50 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa: Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% dan paling banyak 90% pada badan hukum kedua dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran Swasta yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relai yang dimilikinya sebelum ditetapkannya PP ini (16 November 2005). Sehingga, dengan kata lain Pasal 32 ayat (3) telah mereduksi sendiri ketentuan Pasal 32 ayat (1)-nya, maka dapat dikatakan Pasal 32 ayat (3) PP No.50 Tahun 2005 telah memfasilitasi dan melanggengkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam industri penyiaran televisi swasta yang berdiri sebelum tanggal 16 November 2005, sebagaimana yang telah terjadi saat ini seperti apa yang telah dijabarkan di atas. Hal mana tentunya menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini, Kemkominfo, KPI, Bapepam, serta Komisi I dan III DP RI telah membuat suatu ketentuan undang-undang dan kebijakan yang berpotensi, bahkan telah merugikan kepentingan masyarakat luas serta bangsa dan negara.