Kamis, 24 Februari 2011

Plagiarisme Dalam Kacamata Hukum Positif

Berkembangnya ilmu pengetahuan serta lahirnya karya-karya merupakan sesuatu yang bernilai positif, namun seringkali hal tersebut disalahgunakan oleh segelintir orang untuk mencari keuntungan pribadinya sendiri. salah satu peristiwa hukum terkait pelanggaran atas suatu karya atau ilmu pengetahuan tersebut lebih dikenal dengan istilah Plagiarisme. Apakah itu Plagiarisme??bagaimana hukum positif kita mengatur mengenai Plagiarisme??untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal tersebut, berikut kurang lebih penjabaran singkat mengenai Plagiarisme.

DEFINISI HUKUM PLAGIARISME

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya. Sedangkan orang yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.


DASAR HUKUM PLAGIARISME

Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidaklah mengenal istilah plagiarisme atau plagiat, oleh karenanya dalam kacamata hukum plagiarisme dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran terhadap hak cipta, dalam hal ini diatur melalui ketentuan Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan ketentuan pidananya sebagaimana berikut ;

Pasal 72 ayat (1) :

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

yang dalam hal ini, terkait dengan ketentuan mengenai pengertian dari hak cipta adalah sebagai berikut ;

Pasal 2 ayat (1) :

“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Berdasarkan hal yang diutarakan diatas, agar seorang pencipta memiliki hak cipta sebagai hak eksklusif atas ciptaannya maka terlebih dahulu harus melakukan pendaftaran ciptaan sebagaimana yang diamanatkan ketentuan Pasal 35 s/d 44 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selain itu, yang dapat disebut sebagai pencipta, pemilik atau pemegang hak cipta, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta adalah :

a. Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal ; atau

b. Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.

Oleh karenanya, merujuk kepada definisi serta dasar hukum plagiarisme atau plagiat yang ada sebagaimana dijabarkan diatas, maka secara sederhana terdapat beberapa unsur dasar untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak cipta atau tidak, antara lain :

1) Terdapat ciptaan yang dilindungi hak cipta, dimana masa perlindungannya masih berlaku ;

2) Terdapat bagian substansial dari ciptaan tersebut yang diumumkan dan/atau diperbanyak ; dan

3) Adanya pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut yang dilakukan tanpa seijin dari si pencipta atau pemegang hak cipta, dan tidak termasuk ke dalam penggunaan yang dibenarkan (fair use) menurut ketentuan UU Hak Cipta, atau dengan tidak mencantumkan keterangan yang cukup terkait sumbernya.

Manakala unsur-unsur tersebut terpenuhi maka dapatlah diindikasikan adanya pelanggaran hak cipta, namun tanpa adanya unsur-unsur tersebut seperti apapun bentuk pelanggaran yang ada tidaklah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta dan tidaklah benar apabila dipaksakan menjadi suatu permasalahan hukum.

Selasa, 22 Februari 2011

Perlindungan Hukum Hak-hak Korban Kejahatan

Perlindungan hukum dalam hal ini erat kaitannya dengan hak-hak korban, dan langkah perlindungan yang diberikan lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Dikatakan reaktif karena langkah ini ditujukan kepada mereka yang telah mengalami atau menjadi korban kejahatan dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah bahwasanya sering kali korban memutuskan untuk tidak melaporkan akan adanya suatu kejahatan yang menimpa mereka. Banyak faktor yang menjadi penyebab sehingga korban enggan untuk melaporkan kejahatan yang terjadi, salah satu faktornya bahwa keputusan korban ini merupakan rangkaian tingkah laku yang bersumber pada sikap individual dan interaksi korban sebagai pelapor dengan polisi sebagai fungsi hubungan stimulus secara timbal balik. Polisi sebagai sistem stimulus diwujudkan dalam bentuk perilaku positif dalam “model bertingkah laku” bagi korban dalam pengambilan keputusan. Demikian pula sebaliknya, tingkah laku masyarakat adalah stimulus yang diwujudkan dalam bentuk penghargaan dari masyarakat terhadap polisi yang akan menjadi faktor pendorong bagi polisi dalam menjalankan tugasnya.

Selain faktor tersebut, terdapat beberapa faktor-faktor lanilla. Ennis mengungkapkan paling tidak ada enam alasan bagi korban shingga tidak melaporkan kejahatan yang terjadi yaitu:

1. Identification with the ofender as opposed to the police ;

2. A belief that the act was not a crime ;

3. Fear or physical harm repsisal by offender or friends and associates of offender ;

4. Economic loss through usually increased insurance rates ;

5. Unwillingness to get envolved ; and

6. Loss faith in police effectiveness.

Dalam hal yang sama, Box mengemukakan beberapa alasan lain mengana korban tidak melapor, antara lain:

a. Korban menyadari dirinya menjadi korban kejahatan akan tetapi tidak bersedia melapor dikarenakan korban menganggap polisi tidak effisien dan/atau korban menganggap masalah yang dihadapi merupakan urusan pribadi sehingga dapat diselesaikan secara ekstra yudisial dan untuk menghindari rasa malu serta tersemarnya harga diri ;

b. Korban tidak menyadari dirinya menjadi korban kejahatan, misalnya pada korban penipuan ;

c. Korban yang bersifat abstrae sulit untuk ditentukan secara jelas ;

d. Korban terlibat pula dalam kejahatan ;

e. Secara resmi tidak menjadi korban karena adanya kewenangan (diskresi) dan kebijakan dalam rangka penegakkan hukum.

Terlepas daripada faktor-faktor tersebut, dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara tegas telah diatur bentuk perlindungan hukum ini, demikian pula dalam UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, Pasal 27 ayat (1) huruf (a) yang merumuskan bahwa kejaksaan bertugas melakukan penuntutan dalam perkara pidana, meskpipun dalam menjalankan tugasnya untuk dan atas nama negara, akan tetapi juga mewakili korban tidak pidana. Selain itu, di dalam deklarasi PBB tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, telah dirumuskan bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:

1. Access to justice and fair treatment ;

2. Restitution ;

3. Compensation ;

4. Assistance.

Korban kejahatan pada umumnya tertuju pada manusia yang mempunyai hak dan kewajiban serta menuntut perlakuan yang sama dengan orang lain, termasuk perlakuan terhadap pelaku kejahatan. Jaminan perlakuan terhadap korban seringkali dituntut, karena merupakan salah satu bentuk perlindungan. Upaya penegakkan hukum tidak akan membawa hasil manakala tidak diimbagi dengan perasaan keadilan, termasuk didalamnya rasa keadilan para korban kejahatan.

Adanya kecenderungan sikap korban yang pasif dan bahkan non-kooperatif (uncooperative victims of crime) dengan aparat penegak hukum, merupakan salah satu bukti konkrit dari kurangnya perhatian sistem peradilan pidana terhadap hak-hak dan perlindungan hukum korban kejahatan. Belum lagi ditambah dengan kecenderungan yang “offender centered” yang mengakibatkan kurangnya dukungan korban terhadap sistem peradilan pidana. Sikap kurang loyal di atas akan lebih mengemuka manakala korban harus pula berfungsi sebagai saksi yang memberikan kesaksian secara benar dibawah sumpah. Jika ternyata kesaksian korban tidak benar atau palsu dan memberatkan tersangka atau terdakwa, ia diancam dengan pidana penjara maksimal sembilan bulan (Pasal 242 ayat (2) KUHP) dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu.

Dengan kata lain, sikap positif dan mengayomi serta kepercayaan korban terhadap kemampuan aparat sistem peradilan pidana akan mempengaruhi besar kecilnya tingkat kepatuhan korban terhadap sistem yang berlaku. Schneider, sebagaimana dikutip oleh Mc. Donald mengemukakan bahwa:

if the victim has more positive attitudes toward the police, is more trusting of the police, then the probability of reporting is greater; if the victim relieves the police and other law enforcement institutions are effective, then the probability of reporting is greater”.

Kurangnya kepercayaan korban terhadap peradilan pidana yang tercermin dari banyaknya korban yang tidak melapor, merupakan kegagalan sistem peradilan pidana, baik dalam menata sistem maupun dalam mencapai tujuan akhir. Dalam hal yang terakhir, selain harus berpedoman kepada ketentuan tertulis harus pula diperhatikan moral yang didasarkan pada kebenaran dalam melihat suatu perkara. Oleh karenanya setiap sub-sistem dalam sistem peradian pidana senantiasa memiliki tanggung jawab berupa tanggung jawab hukum untuk menegakkan hukum negara dan tanggung jawab moral untuk mlindungi, memulihkan dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia. Apabila terjadi penyimpangan terhadap kedua tanggung jawab di atas maka akan menimbulkan efek negatif terhadap tersangka maupun korban. Dengan kata lain, penyimpangan di atas akan menjadikan sistem peradilan pidana sebagai faktor kriminogen dan sekaligus faktor viktimogen. Terhadap tersangka, ia akan menjadi korban struktural (structural victims), misalnya karena penangkapan dan penahanan yang tidak sah, sedangkan terhadap korban selain ia telah menjadi korban kejahatan harus pula menjadi korban sistem peradilan pidana yang dalam mekanismenya kurang memperhatikan hak-hak dan perlindungan korban yang merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.

Dalam berbagai hal, sifat uncooperative victims of crime dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, adapun beberapa alasan lainnya yang dimaksud, adalah:

1. Karena menyangkut nama baik dan masa depan, korban mengambil jarak dengan sikap tidak melaporkan terutama dalam kasus tindak pidana kesusilaan ;

2. Korban lebih menghendaki penyelesaian secara kekeluargaan dan tidak menghendaki pelakunya dipidana ;

3. Korban merasa khawatir terhadap encaman balas dendam dari pelaku ;

4. Korban merasa bahwa nilai kerugian yang ditimbulkan tidak begitu berarti.

Dengan mengamati sikap uncooperative di atas, maka perumusan sarana hukum yang jelas bagi perlindungan terhadap korban akan memberikan landasan berpijak secara yuridis bagi korban untuk meminta dan menuntut keadilan. Hal ini tentunya perlu diikuti dengan langkah sosialisasi dari sejumlah ketentuan kepada masyarakat, agar terdapat persamaan persepsi mengenai kedudukan dan status hukum korban. Selain itu perlu juga adanya pemberdayaan sarana hukum yang telah ada, dalam hal pemberian ganti kerugian baik dari pelaku maupun dari pemerintah kepada korban harus lebih ditekankan kembali sebagai langkah yang mempunyai landasan yang cukup rasional, yang apabila dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti kerugian harus terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materil dan segala biaya yang telah dikeluarkan serta merupakan pemuasan emocional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Dalam hubungan ini Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu:

a. Meringankan beban penderitaan korban ;

b. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku ;

c. Sebagai salah satu cara untuk merehabilitasi terpidana ;

d. Mempermudah proses peradilan pidananya ;

e. Mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.

Keberpihakan kepada korban akan lebih bermakna manakala diamati betapa peran korban dalam proses peradilan pidana (terutama dalam proses penyidikan) yang dinilai cukup penting, karena keengganan korban untuk melapor ataupun memberikan kesaksian berupa informasi tentang kejahatan merupakan suatu hambatan serius bagi aparat penegak hukum. Sehingga, apabila dilihat dari segi pengendalian kejahatan (control of crimes), upaya pengamanan diri merupakan salah satu cara yang cukup effektif mengingat keterbatasan sumber daya polisi dalam mencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Namun, tetap saja langkah ini harus didukung dengan pola kerjasama antara masyarakat dan polisi yang didasari pada tujuan yang sama.

Dengan demikian yang perlu kita garis bawahi mengenai perlindungan hukum bagi korban kejahatan, yang apabila kita kaitkan dengan sistem peradilan pidana yang mana fokus utamanya adalah bagaimana mengembalikan pelaku kejahatan ke dalam masyarakat, maka bagaiman sikap anggota masyarakat termasuk korban di dalamnya merupakan faktor yang patut diperhitungkan. Tentu saja penerimaan masyarakat yang demikian akan lebih mudah terwujud jika segala akibat negatif yang diderita masyarakat (korban) dapat dihilangkan, baik penderitaan fisik maupun non-fisik. Penderitaan yang maĆ­z berbekas dan dialami korban merupakan hambatan atau paling tidak akan mempengaruhi sikap masyarakat, terutama korban dalam menerima kembali kehadiaran pelaku di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dalam hal yang demikian, diperlukan perlindungan hukum yang proaktif bagi masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya kepada korban kejahatan dalam arti sempit semata.

Sedangkan berbicara mengenai hak-hak korban, terdapat hak kompensasi dan restitusi sebagaimana juga disebutkan di dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, dimana berdasarkan deklarasi ini hak-hak korban secara umum adalah mendapatkan:

1. Restitusi

Pelaku tindakan pidana bertanggung jawab untuk memberikan restitusi kepada korban. Restitusi adalah pemberian ganti kerugian sepenuhnya atau sebagian oleh pihak pelaku kepada pihak korban, apabila yang bersangkutan mampu memberikannya. Soeharto (2007) juga memberikan gambaran bagaimana proses mengajukan restitusi. Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan pengadilan dan pelaku memberikan restitusi paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan. Sebagaimana dalam pelaksanaan pemberian kompensasi dalam pemberian restitusi pelaku atau pihak ketiga juga melaporkan pelaksanaannya kepada Ketua Pengadilan dengan disertai tanda bukti dan kepada korban atau ahli warisnya diberikan restitusi oleh pelaku.

Pengadilan setelah menerima tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga akan mengumumkan pelaksanaan pemberian restitusi tersebut pada papan pengumuman pengadilan. Bila sampai dengan batas waktu 60 (enam puluh) hari korban atau ahli warisnya belum menerima pemberian restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutrnya pengadilan segera memerintahkan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

2. Kompensasi

Apabila pelaku tindak pidana tidak melakukan restitusi kepada korban, maka negara berkewajiban mengusahakan kompensasi finansial kepada korban. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa kompensasi adalah pemberian ganti kerugian oleh pihak pemerintah, dikarenakan pihak pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Pemerintah memberikan ganti kerugian ini adalah semata-mata dalam rangka mengembangkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan rakyat, dan bukan karena bersalah. Menurut Gosita (2001) kompensasi ini merupakan uluran tangan negara sebagai perwujudan perhatian pemerintah terhadap permasalahan penduduk.

Korban atau kuasanya dapat mengajukan permohonan kompensasi dan bukti pelaksanaannya kepada Menteri Keuangan setelah menerima permohonan dari korban atau kuasanya paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan memberikan kompensasi tersebut. Pengertian kompensasi dalam UU No.15 tahun 2003 adalah penggantian yang bersifat materiil dan immateriil. Soeharto (2007) memberikan bagaimana proses pelaksanaan pemberian kompensasi kepada para korban. Pelaksanaan pemberian kompensasi oleh Menteri Keuangan dilaporkan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut, dengan disertai tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi dimaksud dan untuk korban atau ahli warisnya akan mendapat salinan tanda bukti pemberian kompensasi tersebut.

Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti dari pelaksanaan pemberian kompensasi tersebut, kemudian Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian kompensasi pada papan pengumuman pengadilan dimana perkara tersebut diputuskan. Bilamana sampai batas waktu 60 (enam puluh) hari telah lewat dan korban atau ahli warisnya belum menerima kompensasi maka korban atau ahli warisnya dapat melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri dan selanjutnya pengadilan atas laporan korban atau ahli warisnya segera memerintahkan untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung seja tanggal perintah tersebut diterima. Soeharto (2007) menambahkan bahwa dalam UU No.15 Tahun 2003 tidak dicantumkan tentang berapa besarnya kompensasi yang harus diterima oleh korban, demikian pula tentang perincian apakah seorang yang meninggal dunia dan orang cacat akan mendapatkan kompensasi yang sama serta adanya kerugian-kerugian materiil yang lain, misalnya rumah yang hancur, mobil, atau kendaraan yang rusak diakibatkan adanya tindak pidana terorisme. Termasuk ke dalam pengertian kompensasi dalam UU No.15 tahun 2003 adalah penggantian yang bersifat immateriil tetapi sekali lagi dalam undang-undang ini tidak menentukan bentuk kerugian immateriil yang bagaimana yang akan diberikan berikut nominalnya.

UU No.15 Tahun 2003 sebagaimana layaknya produk undang-undang lainnya, dalam menentukan besarnya masing-masing kerugian materiil dan immateriil akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah sehingga tidak mencantumkan ketentuan tersebut dalam pasal-pasal pemberian kompensasi tersebut. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan karena pemerintah mendapat kebebasan sesuai dengan kemauannya sendiri untuk menentukan kriteria dan besarnya kompensasi terhadap korban.

3. Pendampingan

Korban harus mendapatkan pendampingan medis, psikologis, maupun sosial yang layak baik melalui pemerintah, sukarelawan maupun swadaya masyarakat. Hak pendampingan pada dasarnya merupakan hak yang serupa dengan rehabilitasi, yaitu hak yang diberikan kepada korban untuk mengembalikan kondisi korban kembali seperti semula, baik itu kondisi fisik atau medisnya, maupun kondisi mental atau psikologisnya serta rehabilitasi terkait dengan kehidupannya di masyarakat yaitu dalam bersosialisasi.

Sedangkan mengenai hak-hak korban lainnya sebagai hak-hak yang melengkapi, adalah:

1. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan atau partisipasi dan peranan si korban dalam terjadinya kejahatan ;

2. Korban berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya);

3. Korban berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban beninggal dunia karena tindakan tersebut ;

4. Korban berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi ;

5. Korban berhak mendapat kembali hak miliknya ;

6. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya ;

7. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi ;

8. Korban berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum ;

9. Korban berhak mempergunakan upaya hukum (Rechtsmiddelen).

selain itu juga yang merupakan hak-hak para korban kejahatan di Amerika Serikat adalah :

1. Hak untuk turut serta dalam sistem peradilan kriminal ;

2. Hak untuk memperoleh dana yang disediakan oleh pemerintah sebagai kompensasi korban kejahatan ;

3. Hak untuk menerima restitusi yang diperintahkan oleh peradilan kriminal ;

4. Hak untuk mendapatkan keputusan atas tindakan sipil terhadap kriminalitas, tindakan yang melanggar hukum kecerobohan pihak ketiga ;

5. Hak untuk bebas dari intimidasi ;

6. Hak untuk mendapatkan keuntungan dari eksploitasi versi kejahatan suatu tindak pidana ;

7. Hak untuk mencari alternatif penyelesaian masalah ;

Berbicara mengenai hak tentunya tidak terlepas dari kewajibannya, dimana kewajiban korban kejahatan adalah :

1. Korban tidak diperkenankan melakukan tindakan pembalasan (main hakim sendiri) ;

2. Korban wajib berpartisipasi dengan masyarakat untuk mencegah bertambahnya jumlah korban lebih banyak lagi ;

3. Korban wajib Mencegah kehancuran si pembuat korban, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain ;

4. Korban berkewajiban untuk ikut serta membina pembuat korban (pelaku tindak pidana) ;

5. Korban berkewajiban untuk dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi di kemudian hari ;

6. Korban Tidak diperkenankan untuk menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban ;

7. Korban berkewajiban memberikan kesempatan kepada pembuat korban untuk memberikan kompensasi bagi pihak korban sesuai dengan kemempuannya (mencicil secara bertahap atau imbalan jasa) ;

8. Korban wajib menjadi saksi apabila dibutuhkan dan tidak membahayakan diri sendiri serta terdapat jaminan hukum dan perlindungan atasnya.

Demikianlah beberapa macam hak dan kewajiban pihak korban yang perlu mendapat perhatian untuk dipertimbangkan manfaatnya diatur dalam peraturan perundang-undangan demi keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan rakyat. Hak dan kewajiban korban ini bisa didapatkan oleh para korban jika mereka (korban) memiliki kesadaran hukum yang cukup. Hal tersebut harus pula didukung oleh sosialisasi dari pemerintah akan hal ini.

Mengenal Konsep Bantuan dan Perlindungan Hukum di Indonesia

Istilah bantuan hukum terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya, yaitu:

1. Pasal 35 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.14 Tahun 1970).
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.

2. Tap MPR No.IV/MPR/1978 tentang GBHN, “membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan masyarakat kurang mampu”.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa istilah bantuan hukum harus mengarah kepada kenyataan sosial masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan bantuan hukum harus didasarkan pada beberapa konsep pemikiran, sebagai berikut:

1. A Juridical Right

Bantuan hukum yang berlaku di Eropa memiliki sifat yang individual, dimana konsep ini memungkinkan seseorang untuk dapat menerima bantuan hukum, dan bilamana seseorang tidak mampu maka orang tersebut akan memperoleh bantuan hukum secara prodeo. Dalam konsep ini, yang terjadi adalah bantuan hukum hanya sekedar bantuan hukum. Tidak akan ada suatu perubahan sosial yang mendasar. Masyarakat akan tetap selalu berada dalam struktur yang “injustice”. Masyarakat kaya akan tetap kaya, dan masyarakat miskin akan tetap miskin.

2. A Walfare Right

Bantuan hukum yang berlaku di Amerika Serikat yang berada di bawah “Criminal Justice Act” dan “Economic Opportunity Act”. Bantuan hukum menurut kedua Undang-Undang tersebut adalah suatu bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan (ekonomi) bagi seluruh masyarakat.

Dari kedua konsep pemikiran tersebut diatas, maka bantuan hukum mempunyai 3 pengertian, yaitu:

1. Bantuan hukum dalam arti sempit

Bantuan hukum yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara, yang diberikan secara cuma-cuma, khususnya bagi mereka yang tidak mampu dari segi ekonomi.

2. Bantuan hukum sebagai Legal Assistance

Hal ini dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, maupun pemberian bantuan hukum oleh para advokat, pengacara dengan imbalan jasa berupa “honorarium”.

3. Bantuan hukum sebagai Legal Service

Apabila hal ini dihubungkan dengan permasalahan litigasi, maka pengertian ini sebenarnya tidak menggambarkan pengertian bantuan hukum. Pengertian ini dapat diterima sebagai pelayanan hukum, bila bantuan hukum tersebut berhubungan dengan konsultasi hukum dan penyuluhan hukum.

Selain pengertian-pengertian tersebut, dikenal pula istilah “Public Defender” (pembela hukum), yang menurut Prof. Moelatno, SH merupakan suatu panggilan atau sebutan untuk para pejabat di Amerika Serikat yang ditugaskan pemerintah guna memberikan secara cuma-cuma bagi orang-orang yang tidak mampu membiayai sendiri seorang ahli hukum sebagai pembelanya.

Adapun beberapa pengertian lain terkait bantuan hukum dapat kita lihat di bawah ini, menurut:

1. Seminar Pembinaan Profesi Hukum

“Pengertian bantuan hukum terdiri dari bantuan hukum di dalam dan di luar pengadilan”. Pengeritan bantuan hukum di dalam pengadilan menimbulkan permasalahan Verplichte Procururstelling yang berarti hak dan kewajiban untuk mendapatkan bantuan hukum, dimana hak untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut dilayani sebagai berikut:

- Mewajibkan pengadilan untuk menunjuk secara langsung atau melalui organisasi profesi advokat untuk mendampingi atau mewakili setiap orang yang berurusan di muka pengadilan.

- Mewajibkan seseorang dari kalangan profesi hukum (advokat atau pengacara) untuk memberikan bantuan hukum sebagaimana yang dimaksud di atas.

2. Lokakarya Bantuan Hukum

Lokakarya ini mengusulkan agar bantuan hukum diartikan sebagai pelayanan hukum yang diberikan secara cuma-cuma. Pemberi bantuan hukum adalah perseorangan baik seorang sarjana hukum maupun pengacara-pengacara hukum serta badan-badan atau lembaga-lembaga yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.

3. Santosa Poedjosoebroto

Mengutip pendapat K. Smith dan D.J Keenan, Santoso Poedjosoebroto berpendapat bahwa:

“Bantuan hukum atau legal aid adalah bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari seseorang yang berperkara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu secara ekonominya sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seseorang yang diberi kuasa tersebut yaitu pembela atau pengacara”.

Berdasarkan keseluruhan pengertian yang diberikan diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jelaslah pemberian bantuan hukum hendaknya diarahkan kepada pemuasan rasa keadilan masyarakat secara luas, jangan hanya kepada sekelompok kecil orang saja. Apalagi mayoritas masyarakat di Indonesia secara ekonomi masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan dan masih banyak juga masyarakat Indonesia yang buta terhadap hukum.

Sedangkan mengenai perlindungan hukum itu sendiri, pada dasarnya juga merupakan suatu hak asasi setiap individu yang sudah sepantasnya pula dijamin di oleh UUD dan menjadi tanggung jawab daripada negara untuk melaksanakannya. Oleh karena itu perlindungan hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan-peraturan yang memberi pengakuan atas serangkaian hak yang wajib dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan harkat dan martabatnya yang hakiki. Terkait mengenai dasar hukum daripada perlindungan hukum itu sendiri, dapat kita temui di dalam beberapa hukum positif yang berlaku di Indonesia pada saat ini, dimana dapat kita lihat antara lain sebagaimana berikut:

1. UUD Republik Indonesia Tahun 1945 ;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan ;

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ;

4. Undang-Undang Nomr 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jo. Keppres RI Nomr 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM ;

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia; dll.

Meskipun perlindungan hukum secara implisit sudah tertuang diberbagai peraturan perundang-undangan, tentu saja tidak serta merta dapat terimplementasikan dengan sendirinya. Karena, sesungguhnya masih diperlukan beragam kegiatan dan desakan dari berbagai pihak terhadap aparatur hukum agar dengan secara sukarela maupun dengan terpaksa dapat mengimplementasikan peraturan-peraturan tersebut. Di samping itu faktor pengetahuan dan pemahaman terhadap beragam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan bantuan dan perlindungan hukum menjadi sangat relevan dan urgen. Jelasnya faktor kesadaran dan pemahaman terhadap ketentuan yang terkait dengan bantuan dan perlindungan hukum yang tercantum di dalam berbagai regulasi tersebut dapat menjadi faktor determinan bagi penerapan regulasi tersebut. Di sinilah letak relevansi bantuan hukum dengan aspek perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum menjadi suatu mekanisme penjaminan yang menjamin terlaksananya proses bantuan hukum yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan baik terhadap terdakwa atau tersangka maupun terhadap korban tindak pidana.

Terkait pengaturannya dalam hukum positif, berbeda dengan apa yang telah diatur di dalam konstitusi di beberapa negara lain seperti dan negara lainnya India, Filipina, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara lainnya yang telah secara tegas mencantumkan hak untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam konstitusi negaranya masing-masing. Di dalam UUD 1945 tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal batang tubuhnya mengenai hak untuk mendapatkan bantuan hukum ini.

Meskipun Indonesia tidak secara tegas mencantumkan dalam konstitusinya mengenai konsep pemberian hak untuk mendapatkan bantuan hukum, namun dengan adanya pasal 34 jo. 28D UUD 1945 mengenai asas persamaan di muka umum, maka asas ini mempunyai korelasi yang sangat erat dengan asas penunjangnya yaitu asas mendapatkan bantuan hukum. Tidak dicantumkannya asas mendapatkan bantuan hukum dalam UUD 1945 dikarenakan biar bagaimanapun sifat dari suatu batang tubuh sebuah konstitusi negara cukuplah hanya dengan memuat asas-asas dasarnya saja dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang diinginkan oleh suatu negara.

Diberikannya hak mendapatkan bantuan hukum oleh negara sebagai suatu konsekuensi logis dari diberikannya hak-hak tertentu oleh rakyat kepada negara, maka pemerintah berkewajiban untuk bukan saja melindungi setiap warga negaranya terhadap sesama warga negara, yakni orang yang satu dengan orang yang lain, tetapi juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negara oleh negara atau pemerintah itu sendiri.

KUHAP dalam penjelasan umumnya mengkritik HIR karena belum memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Untuk menegaskan bahwa KUHAP berbeda dengan HIR maka HAM mendapat porsi yang besar dalam pengaturan pasal-pasalnya. Pasal 54 KUHAP, menggariskan guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk didampingi oleh seorang atau lebih penasehat hukum. Bahkan pada perkara-perkara dengan ancaman hukuman tertentu penunjukkan penasehat hukum guna mendampingi pembelaan seorang tersangka adalah wajib sifatnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan dirubah kembali dengan UU No. 4 Tahun 2004, melalui Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 , memberikan kesempatan kepada tersangka atau terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam menjalani proses pidana.

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia , Pasal 18 ayat (4), menyatakan bahwa “setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Sangat disayangkan UU ini tidak memberikan ancaman sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran terhadap hak mendapatkan bantuan hukum tersebut, sehingga membuat pasal tersebut sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 54 KUHAP.
Di Indonesia untuk mendapatkan bantuan hukum harus diupayakan pemenuhannya, baik oleh tersangka atau terdakwa sendiri yang didasarkan pada Pasal 54 KUHAP, ataupun pemenuhannya dilakukan oleh Negara yang didasarkan pada Pasal 56 KUHAP. Namun sekali lagi, permasalahan mengenai bantuan hukum di dalam kancah perundang-undangan nasional, baik itu KUHAP maupun undang-undang lainnya yang berkenaan tidak pula mengatur mengenai bantuan dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana, jangankan bagi korban tindak pidana bagi seorang tersangka atau terdakwa yang tidak lain merupakan pelaku (kriminal) tindak pidana sekalipun permasalahan bantuan hukum bagi mereka kerap kali menjadi masalah, baik di dalam persidangan maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, dengan berkembangnya problematika hukum tersebut dimana bantuan dan perlindungan hukum tidak hanya dibutuhkan bagi seorang terdakwa atau tersangka tetapi juga sangat dibutuhkan bagi para korban tindak pidana, karena pada dasarnya bantuan hukum bagi mereka sangatlah penting untuk menjamin terpenuhinya hak-hak mereka, serta terciptanya rasa keadilan.

Maka dari itu, sudah sepantasnya pemerintah menerapkan undang-undang baru yang membahas dan mengatur permasalahan bantuan dan perlindungan hukum ini secara khusus dan mendetail baik di dalam lingkup teoritis maupun praktik. Berbicara mengenai hal tersebut, saat ini para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memang sedang membahas mengani Rancangan Undang-Undang (RUU) Bantuan Hukum, akan tetapi sangat disayangkan hingga saat ini RUU tentang bantuan hukum masih juga belum disahkan, bahkan RUU ini tidak termasuk ke dalam 284 Daftar Rancangan Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005-2009 . Padahal terbentuknya UU tentang Bantuan Hukum ini telah diamanatkan oleh UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman Pasal 38, yang menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan Pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka Menteri Kehakiman pada saat itu telah mengeluarkan, Surat Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan bantuan Hukum, Tanggal 1 Juni 1980 yang diubah dengan Surat Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.01.UM.08.10 Tahun 1981 Tentang Perubahan dan Perbaikan SI Menteri Kehakiman Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum.

Surat Instruksi Menteri Kehakiman tersebut di atas dalam perkembangannya kemudian dirubah kembali dengan Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.01-UM.08.10 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu melalui lembaga bantuan hukum, dan disempurnakan kembali dengan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-UM.08.10 Tahun 1996.

Di dalam bagian menimbangnya, surat keputusan ini menyatakan bahwa dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan, perlu adanya pemerataan bantuan hukum khusus bagi mereka yang tidak atau kurang mampu. Pasal 1 ayat (2) “bantuan hukum diberikan kepada tertuduh yang tidak atau kurang mampu dalam perkara pidana:

1. Yang diancam dalam pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati.

2. Yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun, tetapi perkara tersebut menarik perhatian masyarakat”.

sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) “dalam hal tertuduh menyatakan bahwa ia tidak atau kurang mampu untuk membiayai pemberi bantuan hukum, maka disyaratkan adanya surat keterangan dari pejabat yang berwenang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku (antara lain kepala desa, camat, kepala kepolisian, kepala kejaksaan negeri, dan kepala kantor sosial setempat)”.

Pada tahun 1999 kementrian kehakiman juga telah secara khusus, mengeluarkan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03-UM.06.02 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksaan Program Bantuan hukum Bagi Golongan Masyarakat Yang Kurang Mampu Melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Melihat substansi dari pada ketentuan-ketentuan diatas, sangat disayangkan bahwa saja ketentuan-ketentuan tersebut masih dirasa belum sempurna dan tidak memenuhi rasa keadilan dalam konteks hubungannya dengan korban, karena tidak adanya pengaturan bantuan dan perlindungan hukum bagi korban di dalamnya, padahal korban lah yang sejatinya lebih membutuhkan bantuan dan perlindungan hukum tersebut untuk mendapatkan hak-haknya seperti hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Assistance and Legal Protection

The concept of the assistance and law protective which is stipulated in KUHAP, so far is not sufficient for base of the law crime. The concept is merely designated only for the suspects and the one who charged for crime act. It is also what so mentioned in UU No.18/2003 etc. Meanwhile, in the application of Human Rights, in reality and as a matter of fact, UU No.39/1999 (article 3 point (2), and article 5 point (2) and (3) is still not exactly as the requirement of constitution and UU Human Rights in which it is required that such rights for assistance/support and law protection for the all concerns including the victims of the crime act as well.

In the meantime, the directive of the assistance and law protective stipulated in UU No.8/1981, UU No.15/2003, UU No.13/2006, UU No. 26/2000, UU No. 18/2003 etc, also KUHAP in application of formal law in its practice, even it does not give the law guarantee in formal and clear manner, so that it can weaken the struggle to fulfill the rights of victims. As a matter of facts, the government is not capable yet to perform such rights in forms of material and immatery for the victims of the crime. Such as in Terorism, the need of the compensation, restitution, rehabilitation can not be applied yet, because, the subjects which is stipulated in article 36 No. 15/2003 is still unclear and difficult to apply. This conditions which still not be along with the victims requirement, becoming the proof that the government just look the victims anonimly, not only for the terrorism victims but also to the victims of the crime in general.