I. PENDAHULUAN
Sudah menjadi rahasia umum ditengah-tengah masyarakat Indonesia bagaimana karut-marutnya kondisi penegakkan hukum (law enforcement) di negara ini, banyak faktor yang menjadi penyebab dari buruknya sistem peradilan di Indonesia, namun yang paling utama adalah terkait permasalahan rendahnya moralitas penegak hukum kita di hampir seluruh lembaga dan aparat penegak hukum yang ada mulai dari Kepolisian, Kejaksaan maupun Kehakiman bahkan hingga profesi-profesi lainnya yang bersentuhan dengan hukum semisal Advokat, Panitera maupun Notaris. Keboborokan moral penegak hukum itulah yang membuka pintu lebar-lebar terhadap praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di negara ini sehingga seakan-akan menjadi sesuatu yang mendarah daging dan membudaya, hal mana telah menggerogoti pilar-pilar dari tegaknya hukum atau supremasi hukum di Indonesia. Dalam berbagai penelitian, sebagaimana banyak dilansir media massa, persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) untuk tahun 2006, di satu sisi peringkat korupsi Indonesia semakin “baik” dengan nilai indeks 2,4 meningkat dari tahun sebelumnya, 2,2. Nilai indeks ini juga ikut mendongkrak urutan Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005 menjadi ketujuh (dari 163 negara) pada tahun itu.
Namun, fakta yang terjadi saat ini terlihat sangat bertolak belakang dengan data-data diatas, dimana sistem peradilan di Indonesia dinilai masih berantakan dengan aroma korupsi yang tercium mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan pengadilan, yang menjadikan situasi negara ini benar-benar dalam keadaan 'darurat hukum'. Sistem hukum yang karut-marut ini telah dimulai pada prose pengadilan sampai pada level eksekusi, seperti halnya berbagai permasalahan yang sempat terekspose oleh media baru-baru ini antara lain kasus joki narapidana, transaksi seks dan narkoba dibalik bilik penjara, serta fasilitas mewah yang didapatkan oleh napi berduit di dalam LAPAS, dan berbagai kasus lainnya sesungguhnya telah sangat melukai rasa keadilan masyarakat sekaligus menunjukkan pula betapa rendahnya moralitas aparat penegak hukum kita. Masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana sepak terjang seorang Artalyta Suryani (Ayin) saat ia melecehkan hukum, dimana Ayin merupakan sosok yang sangat “luar biasa”, ia bahkan dapat mengatur skenario kasus yang dihadapinya dengan para pihak petinggi Gedung Bundar, hal tersebut kita ketahui saat permufakatan jahatnya terungkap ke publik melalui rekaman telepon pembicaraannya yang diperdengarkan di sidang MK, Juni 2008 lalu.
Namun apa yang terjadi kemudian sungguh sangat ironis dan mengiris hati rakyat, dimana seorang Ayin yang mendekam di penjara dengan penuh kemewahan karena menyuap aparat penegak hukum, ternyata tetap dinyatakan pantas untuk mendapatkan pembebasan bersyarat pada 28 Januari 2011 dengan alasan prosedural yang debatable, bahwa keputusan tersebut diberikan karena Ayin dianggap telah berkelakuan baik serta aktif dalam kegiatan pembinaan lapas, dan telah menjalankan 2/3 masa tahanannya sejak Maret 2008, sehingga keputusan tersebut dianggap sesuai dengan prosedur yang berlaku. Belum cukup dengan kasus Ayin, kita dihadapkan dengan fakta-fakta yang mengguncang seluruh institusi penegak hukum dan berbagai lembaga negara yang ada mulai dari Dinas Perpajakan, Keimigrasian bahkan hingga Tim Pemberantas Mafia Hukum bentukan Presiden SBY melalui aksi-aksi Super Gayus (Gayus Tambunan) yang telah memporak-porandakan dan mencoreng muka aparat penegak hukum dan pemerintahan SBY-Boediono, hanya saja sampai detik ini baik aparat penegak hukum maupun pemerintah masih bertahan dengan muka tebal dan “make up”-nya yang seolah-olah dengan itu berusaha menutupi rendahnya moralitas mereka yang sesungguhnya, sungguh ironis memang.
Menyoroti permasalahan Ayin dan Gayus, sebenarnya bukan sekali ini saja penegak hukum menggunakan dasar argumen peraturan untuk menguntungkan para pelaku kejahatan 'kakap', kita tentu masih ingat pro dan kontra pemberian remisi kepada sejumlah koruptor kakap yang kesemuanya itu hanya dilandaskan pada argumentasi bahwa pemberian remisi telah diatur di dalam UU No.12 Tahun 1995 Pasal 14 ayat (1) butir i, teknis lebih lanjut tentang remisi dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Mekanisme pemberian remisi yang tidak jelas tentu tidak akan mampu diharapkan menimbulkan efek jera dari pelaku kejahatan. Apalagi, mengingat mekanisme pemberian remisi, pembebasan bersyarat, pemberian izin keluar rutan (rumah tahanan) dan proses hukum lain masih terbuka celah penyalahgunaan yang begitu lebar dengan praktik korupsi dan kongkalikong sejenisnya, tidak terkecuali bagi mereka para tahanan yang berada dalam Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (LP). Sedangkan kita semua mengerti bahwa penjara/LP sendiri diciptakan bukan sebagai sarana untuk balas dendam semata, tetapi penjara juga diciptakan sebagai tempat untuk membuat orang merasa menyesal dan jera serta memahami kesalahan yang ia buat. Oleh karenanya, apa bedanya penjara dengan tidak, jika semua keistimewaan di luar tembok penjara masih leluasa ia nikmati??. Dengan memahami kondisi tersebut diatas nampaknya memang rancangan 'pedang hukum' di negeri ini dirancang sebagai pedang yang tajam ke bawah akan tetapi tumpul ketika diarahkan ke atas, hal ini lah yang menyebabkan tidak efektifnya sistem peradilan di Indonesia, yang harus kita benahi bersama.
II. PEMBAHASAN
A. Pendidikan hukum berbasis moralitas dan sipiritualitas
Permasalahan-permasalahan yang diungkapkan dalam pendahuluan merupakan suatu “pekerjaan rumah” bagi kita, khususnya pemerintah untuk menyelesaikannya, dimana salah satu cara penyelesaian yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pelatihan atau pendidikan hukum yang berbasis kepada moralitas dan spiritualitas bagi aparat penegak hukum. Karena apabila ditelusuri pembentukkan watak, kemampuan, dan kepribadian penegak hukum itu, akan sampai pada titik tertentu, yakni pendidikan hukum dimana aparat penegak hukum itu menimba ilmu pengetahuan hukum, sehingga penting untuk melakukan pengkajian mengenai sejauh mana sistem pendidikan hukum di fakultas hukum itu mempengaruhi kepribadian, watak, dan kemampuan seseorang penegak hukum. Namun, yang menjadi persoalan adalah bahwa sistem pendidikan hukum di fakultas hukum saat ini masih kurang berbasis moralitas dan spiritualitas yang bertumpu pada agama dan etika, bahkan sebagian isi dari sistem pendidikan hukum yang ada masih sarat dengan aspek sekular dan liberal. Kondisi ini dapat dipahami mengingat sistem pendidikan hukum di Indonesia banyak menyerap dan mengadopsi sistem pendidikan hukum barat, terutama Belanda, yang memang sekuler dan liberal sebagai konsekuensi logis dari penjajahan Belanda di Indonesia. Karakteristik hukum yang demikian sesungguhnya sama sekali tidak sesuai dengn kondisi masyarakat Indonesia yang religius, dimana agama menjadi acuan penting dalam menjalani kehidupan, terutama menentukan sikap terhadap lingkungannya.
Praktek sekulerisme dan liberalisme di Indonesia sedikit banyak telah menjadi penyebab dari rusaknya moralitas para penegak hukum semenjak bangku pendidikan mereka, dimana dalam dunia pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, sampai tingkat Universitas diatur oleh Departemen Pendidikan, sedangkan untuk sekolah seperti Madrasah, Ibtidaiyah, dan IAIN diatur oleh Departemen Keagamaan, dari sini dapat kita lihat bahwa dunia pendidikan di negara ini berbasis kepada sekulerisme yang memisahkan akademis antara nilai-nilai sosialitas dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, andai pemerintah mengerti bahwasanya yang membentuk baik atau buruknya moralitas seseorang adalah tinggi atau rendahnya tingkat spiritualitasnya, sehingga tidaklah dapat dipisahkan antara pendidikan moralitas dan spiritualitas. Seharusnya pemerintah meleburkan kedua Departemen tersebut terkait kewenangannya dalam mengatur pendidikan sehingga membentuk suatu kurikulum baru yang terpadu dan sistematis, dengan memadukan pendidikan sosialitas akademis dan moralitas spiritual. Oleh karena itu, penting untuk dipertimbangkan bagaimana membangun pendidikan hukum yang berbasis moralitas spiritual di tanah air ini, dengan tujuannya agar proses pendidikan hukum yang berlangsung sejalan dengan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, serta lulusannya selain menguasai pengetahuan hukum secara teoritis dan profesi, juga memahami kedudukan dan perannya sebagai makhluk yang bermoralitas dan berspiritualitas dengan taat menunaikan ajaran agama-Nya dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya, terutama tindak kriminal dan praktek korupsi.
Pada prinsipnya, pendidikan hukum yang berbasis moralitas-spiritualitas mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, baik di tingkat konstitusi maupun undang-undang, dimana dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) 1945, telah mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa, baik dalam Pembukaan maupun pasal-pasal. Dalam hal pendidikan, UUD 1945 juga telah menentukan bahwa pendidikan sangat erat dengan moralitas, hal ini dapat dikaji dari rumusan Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang". Selain itu, salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yang memuat cita-cita luhur dan filosofis adalah "bahwa negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab", diatur lebih lanjut dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Tuhan yang dimaksud jika mengacu kepada Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 adalah Allah SWT, dengan teks lengkapnya sebagai berikut “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Dengan demikian, seharusnya negara membuka ruang dalam dunia pendidikan bagi ekspansi yang berbasis moralitas, agama, dan nilai-nilai spiritual khususnya dalam hal ini agama Islam, ke dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk juga pendidikan. Pemisahan nilai-nilai profetik-spritual dari urusan duniawi justru hanya akan memperburuk krisis moralitas penegak hukum dalam sistem peradilan kita.
B. Penerapan sistem pembuktian pidana sebagai suatu solusi
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwasanya korupsi menjadi satu dari sekian permasalahan hukum yang selalu menggerogoti moralitas aparat penegak hukum. Potret korupsi di Indonesia mungkin menjadi salah satu yang terburuk dalam sejarah peradaban modern, bahkan telah mencapai titik nadir yang tidak dapat ditolerir, begitu mengakar dan sistematis. Kerugian negara atas menjamurnya praktek korupsi sudah tidak terhitung lagi. Soemitro Djoyohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara 1989-1993 sebesar 30% dan hasil penelitian World Bank kebocoran dana pembangunan mencapai 45%. (Tempo, 22 Januari 1994). Sedangkan berdasarkan penelitian Transparency International (TI) selama lima (5) tahun berturut-¬turut dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, Indonesia selalu menduduki posisi 10 besar negara paling korup di dunia. (Transparency International, Corruption Perception, Index 1995, 1996, 1997, 1998, 1999 dan 2000). Begitu buruknya potret korupsi itu, tidak sedikit pihak – antara lain adalah Bung Hatta – yang menilai korupsi telah membudaya, penilaian itu mengemuka justru ketika korupsi belum separah seperti sekarang ini dan ketika kue pembangunan mulai tumbuh membesar. Ketika kue pembangunan mampu diperbesar oleh rezim Orde Baru dengan pengorbanan yang luar biasa besar dari rakyat dan penghisapan sumberdaya alam yang gila-gilaan, maka korupsi nampak demikian nyata. Konon keberadaannya dimitoskan sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan diperlukan (necessary evil). Oleh karenanya korupsi menjadi salah satu agenda penting yang harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia.
Sesungguhnya tidak akan terjadi separah itu kondisi korupsi di Indonesia jika kisah Hakim La Pagala Nene’Mallomo dari Sindereng (Sulsel) pada abad XVI dijadikan pedoman dalam memberantas korupsi. Hakim tersebut menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang dipersalahkan mencuri bajak tua milik seorang warga kerajaan. Ketika ditanya oleh seorang yang menghadiri sidang “Apakah Tuanku menilai sama nyawa putranya dengan kayu lapuk itu ?” Beliau menjawab singkat “ Ade’e temmaakeana ” temmakke eppo” (“Adat/hukum tak mengenal anak dan tak megenal cucu”). Oleh karena kisah hakim tersebut tidak dijadikan pedoman, maka pada perkembangannya sekarang terus terjadi berbagai bentuk praktik korupsi yang melibatkan para pengusaha dan pebisnis, biasanya dalam bentuk suap menyuap di bidang perizinan, pajak, peradilan, pengadaan barang dan jasa, pungutan liar, dan bea cukai. Di bidang pengadaan barang dan jasa, korupsi terjadi dalam bentuk pemberian komisi sebelum dan sesudah tender serta pada saat termin pembayaran. Meskipun sekarang sudah ada Keppres 80/2003, yang mengatur agar suap-menyuap seharusnya tidak lagi terjadi, namun praktik tersebut masih saja berlangsung, termasuk “tender arisan”. Biasanya bentuk korupsi yang dilakukan antara pengusaha dan profesional (akuntan dan pengacara) itu masuk kategori “bribery” (penyuapan). Korupsi di dalam tubuh pemerintahan yang melibatkan pengusaha dan profesional itu jumlahnya sangat banyak dan mencakup kerugian negara yang sangat besar (grand corruption).
Grand corruption yang berlangsung di era Orde Baru, mungkin mudah dicari kambing hitamnya seiring dengan kemajuan ekonomi, otoritarianisme politik, dan lemahnya kontrol masyarakat. Namun, ironisnya, memasuki era reformasi, kualitas maupun kuantitas masih menunjukkan hal yang tak jauh berbeda. Pergeserannya mungkin hanya dalam bentuk penampilannya saja, seperti tercerminkan pada bentuk-bentuk berikut : korupsi ramai-ramai (berjamaah) seperti dilakukan anggota DPRD dalam pemanfaatan dana APBD; korupsi pada pengadaan barang dan jasa serta penunjukkan rekanan seperti terjadi di KPU; korupsi di lembaga legislatif dan lembaga lain yang mampu mendesakkan kepentingannya secara efektif. Beberapa kelompok kepentingan dan LSM juga memanfaatkan keadaan ini dan disinyalir terlibat permainan korupsi dan praktik kotor lainnya yang merugikan negara. Hal serupa juga dialami kalangan akademisi yang semakin vokal dan gede-gedean suara, sehingga muncul anekdot : “menjual pendapat jadi pendapatan”; Korupsi melalui suatu kebijakan dimana hasil korupsi ditampilkan secara rapi untuk kepentingan yang mulia seperti pembangunan rumah ibadah, santunan fakir miskin sehingga korupsinya tersebut menjadi pembenar karena sebagai jalan pemerataan seperti terjadi dalam fenomena dana non budgeter; atau (mungkin) korupsi pada dunia maya yang belum mendapatkan penanganan maksimal, yang dilakukan melalui proses komputerisasi yang canggih (memasukan, merubah, bahkan menciptakan data-data baru) sehingga memperkaya diri dan orang lain secara melawan hukum dan merugikan negara (cyber crime).
Kesemua bentuk tindak pidana diatas sejatinya bermuara pada satu tindak pidana, yakni tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat bersembunyi dan sangat sulit untuk dibuktikan, kesulitan pembuktian tindak pidana korupsi merupakan hambatan dalam proses pengungkapan terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri. Sehingga, dibutuhkan suatu mekanisme pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dikenal sebagai sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik merupakan mekanisme yang dianggap dapat menjadi solusi untuk mengungkap tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik didefinisikan sebagai suatu mekanisme pembuktian dimana pihak yang dianggap bersalah yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Mekanisme pembuktian terbalik sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang benar-benar baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Mekanisme ini telah disebutkan dalam beberapa kebijakan legislasi yaitu UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No.15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Khusus untuk kebijakan legislasi yang mengatur tentang korupsi dan suap, mekanisme ini diatur dalam UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi walaupun sejak UU No.5 tahun 1960 dan UU No.3 tahun 1971 telah menyebutkan mengenai sistem pembuktian terbalik. Pada dasarnya, dalam setiap pemeriksaan di persidangan untuk kasus korupsi maupun suap terdakwa diberi hak (kesempatan) untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik merupakan suatu kewajiban bagi terdakwa penerima gratifikasi 10 juta rupiah atau lebih dan untuk membuktikan harta benda yang belum didakwakan bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Kebijakan legislasi yang telah diatur sedemikian rupa tidak serupa pada tatanan aplikatifnya. Sistem pembuktian terbalik hingga saat ini belum pernah diterapkan secara menyeluruh dan efektif oleh para aparat penegak hukum baik dalam kasus tindak pidana korupsi maupun suap karena memang pelaksanaannya masih tergantung pada wewenang hakim untuk menerapkannya atau tidak dalam persidangan, bahkan dalam perkara mafia pajak Gayus Tambunan pun, meskipun telah di instruksikan oleh Presiden RI nyatanya pelaksanaannya masih belum atau tidak diterapkan sepenuhnya oleh hakim.
C. Aspek efektifitas dalam sistem penerapan eksekusi pidana
Satu hal yang mungkin terkadang sering kali luput dari banyak pengamatan orang adalah proses eksekusi pidana atau pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan sebagai suatu vonis hakim atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, apa yang menjadi fakta dari rendahnya moralitas aparat penegak hukum dalam perkara Ayin dan Gayus serta beberapa pelaku tindak pidana lainnya yang dengan mudah keluar masuk rumah tahanan atau penjara serta mendapatkan fasilitas yang mewah layaknya hotel berbintang 5 (lima) telah menandakan bobroknya mentalitas dan moralitas aparat penegak hukum kita. Oleh karenanya, dalam menjaga eksistensi berbagai lembaga negara, terkait pemberantasan korupsi, termasuk didalamnya lembaga pemasyarakatan (LP), maka perlu dicermati dan didiskusikan akan keberadaan konsep penjara selama ini. Karena sudah menjadi rahasia umum, kalau penjara selama ini telah menjadi tempat nyaman untuk merencanakan, mengatur, dan menjalankan berbagai tindakan kejahatan bagi mereka para pelaku kejahatan. Kondisi seperti itu tentunya menjadi bagian dari tidak efektifnya penjara sebagai tempat yang bisa memberikan efek jera bagi para penghuninya. Oleh karena itu, konsep “eksekutorial” perlu diketengahkan untuk menjadi bagian dalam memberantas kejahatan, termasuk korupsi.
Tekait hal itu, terdapat tiga ukuran yang harus diperhatikan sekaligus menjadi keuntungan yang bisa didapatkan melalui konsep eksekutorial ini, yaitu:
(1) Efisien, dalam arti tindakan jitu/tepat dalam membasmi para koruptor khususnya, karena langsung dieksekusi seperti diberlakukannya hukum potong tangan dan atau hukuman mati terhadap para koruptor tersebut dengan disaksikan masyarakat luas (misalnya di Monas atau di alun-alun tiap daerah) serta diwajibkan untuk diliput oleh media massa, baik cetak maupun elektronik ;
(2) Murah, dalam arti dapat memangkas biaya besar yang selama ini dijalankan dalam konsep penjara. Dapat dibayangkan, pemberian jatah makan kepada para tahanan, jika sehari Rp 10.000,- untuk 3x makan, maka berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sekian banyak tahanan per harinya. Sebaliknya, tentunya akan terjadi penghematan yang besar dari hal hilangnya pemberian makan ini karena dilakukannya konsep langung eksekusi ;
(3) Efektif, karena dengan konsep eksekutorial dapat memberi efek jera, baik kepada para pelaku kejahatan tersebut sekaligus menjadi upaya pencegahan terhadap kejahatan yang belum dilakukan oleh siapapun.
Begitu pula, dalam tataran perbandingan hak asasi manusia (HAM), konsep eksekutorial bukan tidak mungkin memberikan penjunjungan yang tinggi akan nilai-nilai HAM, bahkan lebih baik daripada yang diberikan oleh konsep konvensional atau penjara selama ini. Sebagai gambaran, seseorang yang bersalah karena kejahatan yang dilakukannya, kepadanya dapat dilakukan eksekusi yang lebih cepat ketika putusan pengadilan menyatakannya bersalah, sehingga dia tidak perlu mengalami hukuman ganda (double punishment) karena menjalani masa tahanan/penjara yang tidak hanya merugikan dia sendiri, tapi secara psikologis bisa jadi merugikan istri, anak, keluarga atau saudaranya, seperti tidak bisa secara maksimal memberikan nafkah atau kebutuhan lahir batin, baik untuk istri, anak, keluarga maupun saudaranya tersebut. Oleh karena itu, suatu keniscayaan perilaku korupsi dan bentuk kriminalitas lainnya, baik dalam tataran ekonomi, politik, sosial, dan budaya, atau penyakit-penyakit masyarakat lainnya, insya Allah dapat diatasi dengan upaya-upaya melalui taubat nasional dengan cara revolusi fungsional, yaitu satu tindakan perubahan secara cepat dan mendasar melalui kemampuan tiap-tiap indvidu yaitu atas dasar kapasitas dan otoritas yang dimilikinya.
III. PENUTUP
Dengan menyadari kondisi saat ini, dimana kita berada ditengah-tengah krisis moralitas aparat penegak hukum, maka kita perlukan suatu upaya penegakan hukum dengan cara-cara yang extraordinary atau luar biasa. Sebagaimana yang diajabarkan diatas, cara-cara yang dimaksud dapat ditempuh sebagaimana berikut :
1. Merubah atau mengganti penerapan hukum kolonial Belanda beserta sistem hukum dan HAM-nya sekaligus, dengan sistem hukum dan HAM-nya yang sesuai dengan Pancasila, sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila ke-3 “Persatuan Indonesia”, serta ketentuan :
UUD 1945 Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik;
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar;
(3) Negara Indonesia adalah Negara hukum;
dan UUD 1945 Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota Negara;
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.
Makna yang terdalam dari perubahan ini adalah mengacu kepada sila ke-1 Pancasila kemudian dikuatkan oleh Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Tuhan yang dimaksud jika menurut Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 adalah Allah Swt. Adapun Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3 dan UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) adalah:
Mukadimah UUD 1945 alinea ke-3
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” ;
UUD 1945 Pasal 9 ayat (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Jadi, konsekuensi logisnya Negara Republik Indonesia harus mau dan rela diatur oleh hukum-hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw., serta dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan menurut selera para penguasa yang sedang berkuasa dan juga harus menjaga keutuhan NKRI sebagaimana perintah sila ke-3 Pancasila.
2. Merubah atau mengganti penerapan sistem demokrasi liberal yang sekarang berlangsung dengan memberlakukan sistem demokrasi yang berdasarkan musyawarah, mufakat, dan melalui sistem perwakilan sesuai dengan Pancasila, sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, dan UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, serta berdasarkan kepada Pasal 28 yakni, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
3. Merubah dan mengganti sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku selama ini dengan sistem ekonomi-berbagi (sharing-economy) sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), yaitu :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
4. Merubah atau mengganti sistem pendidikan yang bersifat sekularisme, yaitu yang memisahkan kehidupan dunia dengan agama, dimana selama ini jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA, dan Universitas berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional dengan orientasi kepada urusan dunia saja. Sementara di sisi lain jenjang pendidkan mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan IAIN atau madrasah pada umumnya berada di bawah koordinasi Departemen Agama dengan orientasinya lebih kepada urusan akhirat. Kondisonal sistem pendidikan ini harus diubah atau diganti sebagaimana UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) dan (5), yaitu :
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Jadi, jelas kalau sistem pendidikan mesti mengintegrasikan antara keimanan dan ketakwaan dengan kecerdasan serta keterampilan dan keberanian watak sebagai watak bangsa yang bermartabat. Untuk terkondisikannya suasana pendidikan yang kondusif sehingga berlaku pendidikan yang tidak sekular, maka perlu diambil kebijakan oleh Presiden, yaitu menyatukan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan atau setidak-tidaknya Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Agama untuk menyatukan kurikulum yang berasal dari pendidikan umum dikombinasikan dengan sebaik-baiknya, yang diambil dari kurikulum yang full mengajarkan agama kepada setiap pelajaran pada tiap-tiap tingkatannya. Juga perlu dibuat kebijakan nasional yang mencakup siaran TV antara pukul 19.00-21.00 harus dikondisikan menjadi jam wajib belajar atau pada jam tersebut seluruh siaran TV diwajibkan membuat program yang mengajarkan 5 hal penting kepada seluruh rakyat Indonesia:
(1) Pelajaran Al Quran dan hadis Nabi Saw. serta ajaran-ajaran agama lainnya yang diakui di Indonesia dengan segala porsinya.
(2) Pelajaran Matematika
(3) Pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Arab di samping Bahasa Indonesia
(4) Pelajaran tentang komputer dan informasi
(5) Pelajaran tentang Sejarah, terutama sejarah para nabi dan tokoh pahlawan Indonesia serta tokoh dunia yang dianggap perlu agar bangsa Indonesia mendapatkan jalan yang lurus sebagaimana jalan dari orang-orang yang telah Allah beri nikmat dalam menjalankan hidupnya. Hal ini sesuai yang selalu umat Islam Indonesia mengamalkannya karena diajarkan dalam QS Al Fatihah ayat 6 dan 7, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
5. Merubah atau mengganti tatanan budaya hedonisme dan pragmatisme serta budaya koruptif dengan sistem budaya atau tata gaul yang didasari kepada sila ke-1 dan ke-2 Pancasila, serta mengembangkan budaya dan kearifan lokal dari masing-masing daerah di Indonesia sebagai wujud Bhineka Tunggal Ika, sehingga pada tingkat ini mestilah ditertibkan jalur-jalur informasi seperti internet, film-film, dan acara-acara televisi yang tidak mengkondisikan budaya dan tata gaul yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
6. Menerapkan sepenuhnya sistem pembuktian terbalik sebagai suatu sistem pembuktian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, suap ataupun gratifikasi dan tindak pidana sejenis lainnya. Serta melakukan perubahan terhadap sistem penghukuman selama ini dengan menerapkan konsep eksekutorial yang memberikan mampu efek jera dan rasa malu serta pelajaran bagi para pelaku tindak pidana dan orang lain agar tidak mengulangi atau mencontoh perbuatan yang serupa.
Akhirnya semua berpulang kepada kita semua sebagai rakyat bangsa Indonesia yang ingin maju dan bermartabat untuk melakukan pembenahan dalam sistem peradilan kita utamanya dan bangsa ini pada umumnya, sebagaimana yang diungkapkan di atas. Semoga Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik, maju, dan bermartabat, baldatun thoyyibatun wa Rabbun Gahffuur, negeri yang baik dan mendapat ampunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar