Selasa, 22 Februari 2011

Perlindungan Hukum Hak-hak Korban Kejahatan

Perlindungan hukum dalam hal ini erat kaitannya dengan hak-hak korban, dan langkah perlindungan yang diberikan lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Dikatakan reaktif karena langkah ini ditujukan kepada mereka yang telah mengalami atau menjadi korban kejahatan dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah bahwasanya sering kali korban memutuskan untuk tidak melaporkan akan adanya suatu kejahatan yang menimpa mereka. Banyak faktor yang menjadi penyebab sehingga korban enggan untuk melaporkan kejahatan yang terjadi, salah satu faktornya bahwa keputusan korban ini merupakan rangkaian tingkah laku yang bersumber pada sikap individual dan interaksi korban sebagai pelapor dengan polisi sebagai fungsi hubungan stimulus secara timbal balik. Polisi sebagai sistem stimulus diwujudkan dalam bentuk perilaku positif dalam “model bertingkah laku” bagi korban dalam pengambilan keputusan. Demikian pula sebaliknya, tingkah laku masyarakat adalah stimulus yang diwujudkan dalam bentuk penghargaan dari masyarakat terhadap polisi yang akan menjadi faktor pendorong bagi polisi dalam menjalankan tugasnya.

Selain faktor tersebut, terdapat beberapa faktor-faktor lanilla. Ennis mengungkapkan paling tidak ada enam alasan bagi korban shingga tidak melaporkan kejahatan yang terjadi yaitu:

1. Identification with the ofender as opposed to the police ;

2. A belief that the act was not a crime ;

3. Fear or physical harm repsisal by offender or friends and associates of offender ;

4. Economic loss through usually increased insurance rates ;

5. Unwillingness to get envolved ; and

6. Loss faith in police effectiveness.

Dalam hal yang sama, Box mengemukakan beberapa alasan lain mengana korban tidak melapor, antara lain:

a. Korban menyadari dirinya menjadi korban kejahatan akan tetapi tidak bersedia melapor dikarenakan korban menganggap polisi tidak effisien dan/atau korban menganggap masalah yang dihadapi merupakan urusan pribadi sehingga dapat diselesaikan secara ekstra yudisial dan untuk menghindari rasa malu serta tersemarnya harga diri ;

b. Korban tidak menyadari dirinya menjadi korban kejahatan, misalnya pada korban penipuan ;

c. Korban yang bersifat abstrae sulit untuk ditentukan secara jelas ;

d. Korban terlibat pula dalam kejahatan ;

e. Secara resmi tidak menjadi korban karena adanya kewenangan (diskresi) dan kebijakan dalam rangka penegakkan hukum.

Terlepas daripada faktor-faktor tersebut, dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara tegas telah diatur bentuk perlindungan hukum ini, demikian pula dalam UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, Pasal 27 ayat (1) huruf (a) yang merumuskan bahwa kejaksaan bertugas melakukan penuntutan dalam perkara pidana, meskpipun dalam menjalankan tugasnya untuk dan atas nama negara, akan tetapi juga mewakili korban tidak pidana. Selain itu, di dalam deklarasi PBB tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, telah dirumuskan bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:

1. Access to justice and fair treatment ;

2. Restitution ;

3. Compensation ;

4. Assistance.

Korban kejahatan pada umumnya tertuju pada manusia yang mempunyai hak dan kewajiban serta menuntut perlakuan yang sama dengan orang lain, termasuk perlakuan terhadap pelaku kejahatan. Jaminan perlakuan terhadap korban seringkali dituntut, karena merupakan salah satu bentuk perlindungan. Upaya penegakkan hukum tidak akan membawa hasil manakala tidak diimbagi dengan perasaan keadilan, termasuk didalamnya rasa keadilan para korban kejahatan.

Adanya kecenderungan sikap korban yang pasif dan bahkan non-kooperatif (uncooperative victims of crime) dengan aparat penegak hukum, merupakan salah satu bukti konkrit dari kurangnya perhatian sistem peradilan pidana terhadap hak-hak dan perlindungan hukum korban kejahatan. Belum lagi ditambah dengan kecenderungan yang “offender centered” yang mengakibatkan kurangnya dukungan korban terhadap sistem peradilan pidana. Sikap kurang loyal di atas akan lebih mengemuka manakala korban harus pula berfungsi sebagai saksi yang memberikan kesaksian secara benar dibawah sumpah. Jika ternyata kesaksian korban tidak benar atau palsu dan memberatkan tersangka atau terdakwa, ia diancam dengan pidana penjara maksimal sembilan bulan (Pasal 242 ayat (2) KUHP) dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu.

Dengan kata lain, sikap positif dan mengayomi serta kepercayaan korban terhadap kemampuan aparat sistem peradilan pidana akan mempengaruhi besar kecilnya tingkat kepatuhan korban terhadap sistem yang berlaku. Schneider, sebagaimana dikutip oleh Mc. Donald mengemukakan bahwa:

if the victim has more positive attitudes toward the police, is more trusting of the police, then the probability of reporting is greater; if the victim relieves the police and other law enforcement institutions are effective, then the probability of reporting is greater”.

Kurangnya kepercayaan korban terhadap peradilan pidana yang tercermin dari banyaknya korban yang tidak melapor, merupakan kegagalan sistem peradilan pidana, baik dalam menata sistem maupun dalam mencapai tujuan akhir. Dalam hal yang terakhir, selain harus berpedoman kepada ketentuan tertulis harus pula diperhatikan moral yang didasarkan pada kebenaran dalam melihat suatu perkara. Oleh karenanya setiap sub-sistem dalam sistem peradian pidana senantiasa memiliki tanggung jawab berupa tanggung jawab hukum untuk menegakkan hukum negara dan tanggung jawab moral untuk mlindungi, memulihkan dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia. Apabila terjadi penyimpangan terhadap kedua tanggung jawab di atas maka akan menimbulkan efek negatif terhadap tersangka maupun korban. Dengan kata lain, penyimpangan di atas akan menjadikan sistem peradilan pidana sebagai faktor kriminogen dan sekaligus faktor viktimogen. Terhadap tersangka, ia akan menjadi korban struktural (structural victims), misalnya karena penangkapan dan penahanan yang tidak sah, sedangkan terhadap korban selain ia telah menjadi korban kejahatan harus pula menjadi korban sistem peradilan pidana yang dalam mekanismenya kurang memperhatikan hak-hak dan perlindungan korban yang merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.

Dalam berbagai hal, sifat uncooperative victims of crime dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, adapun beberapa alasan lainnya yang dimaksud, adalah:

1. Karena menyangkut nama baik dan masa depan, korban mengambil jarak dengan sikap tidak melaporkan terutama dalam kasus tindak pidana kesusilaan ;

2. Korban lebih menghendaki penyelesaian secara kekeluargaan dan tidak menghendaki pelakunya dipidana ;

3. Korban merasa khawatir terhadap encaman balas dendam dari pelaku ;

4. Korban merasa bahwa nilai kerugian yang ditimbulkan tidak begitu berarti.

Dengan mengamati sikap uncooperative di atas, maka perumusan sarana hukum yang jelas bagi perlindungan terhadap korban akan memberikan landasan berpijak secara yuridis bagi korban untuk meminta dan menuntut keadilan. Hal ini tentunya perlu diikuti dengan langkah sosialisasi dari sejumlah ketentuan kepada masyarakat, agar terdapat persamaan persepsi mengenai kedudukan dan status hukum korban. Selain itu perlu juga adanya pemberdayaan sarana hukum yang telah ada, dalam hal pemberian ganti kerugian baik dari pelaku maupun dari pemerintah kepada korban harus lebih ditekankan kembali sebagai langkah yang mempunyai landasan yang cukup rasional, yang apabila dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti kerugian harus terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materil dan segala biaya yang telah dikeluarkan serta merupakan pemuasan emocional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Dalam hubungan ini Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu:

a. Meringankan beban penderitaan korban ;

b. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku ;

c. Sebagai salah satu cara untuk merehabilitasi terpidana ;

d. Mempermudah proses peradilan pidananya ;

e. Mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.

Keberpihakan kepada korban akan lebih bermakna manakala diamati betapa peran korban dalam proses peradilan pidana (terutama dalam proses penyidikan) yang dinilai cukup penting, karena keengganan korban untuk melapor ataupun memberikan kesaksian berupa informasi tentang kejahatan merupakan suatu hambatan serius bagi aparat penegak hukum. Sehingga, apabila dilihat dari segi pengendalian kejahatan (control of crimes), upaya pengamanan diri merupakan salah satu cara yang cukup effektif mengingat keterbatasan sumber daya polisi dalam mencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Namun, tetap saja langkah ini harus didukung dengan pola kerjasama antara masyarakat dan polisi yang didasari pada tujuan yang sama.

Dengan demikian yang perlu kita garis bawahi mengenai perlindungan hukum bagi korban kejahatan, yang apabila kita kaitkan dengan sistem peradilan pidana yang mana fokus utamanya adalah bagaimana mengembalikan pelaku kejahatan ke dalam masyarakat, maka bagaiman sikap anggota masyarakat termasuk korban di dalamnya merupakan faktor yang patut diperhitungkan. Tentu saja penerimaan masyarakat yang demikian akan lebih mudah terwujud jika segala akibat negatif yang diderita masyarakat (korban) dapat dihilangkan, baik penderitaan fisik maupun non-fisik. Penderitaan yang maĆ­z berbekas dan dialami korban merupakan hambatan atau paling tidak akan mempengaruhi sikap masyarakat, terutama korban dalam menerima kembali kehadiaran pelaku di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dalam hal yang demikian, diperlukan perlindungan hukum yang proaktif bagi masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya kepada korban kejahatan dalam arti sempit semata.

Sedangkan berbicara mengenai hak-hak korban, terdapat hak kompensasi dan restitusi sebagaimana juga disebutkan di dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, dimana berdasarkan deklarasi ini hak-hak korban secara umum adalah mendapatkan:

1. Restitusi

Pelaku tindakan pidana bertanggung jawab untuk memberikan restitusi kepada korban. Restitusi adalah pemberian ganti kerugian sepenuhnya atau sebagian oleh pihak pelaku kepada pihak korban, apabila yang bersangkutan mampu memberikannya. Soeharto (2007) juga memberikan gambaran bagaimana proses mengajukan restitusi. Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan pengadilan dan pelaku memberikan restitusi paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan. Sebagaimana dalam pelaksanaan pemberian kompensasi dalam pemberian restitusi pelaku atau pihak ketiga juga melaporkan pelaksanaannya kepada Ketua Pengadilan dengan disertai tanda bukti dan kepada korban atau ahli warisnya diberikan restitusi oleh pelaku.

Pengadilan setelah menerima tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga akan mengumumkan pelaksanaan pemberian restitusi tersebut pada papan pengumuman pengadilan. Bila sampai dengan batas waktu 60 (enam puluh) hari korban atau ahli warisnya belum menerima pemberian restitusi oleh pelaku atau pihak ketiga, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutrnya pengadilan segera memerintahkan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

2. Kompensasi

Apabila pelaku tindak pidana tidak melakukan restitusi kepada korban, maka negara berkewajiban mengusahakan kompensasi finansial kepada korban. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa kompensasi adalah pemberian ganti kerugian oleh pihak pemerintah, dikarenakan pihak pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Pemerintah memberikan ganti kerugian ini adalah semata-mata dalam rangka mengembangkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan rakyat, dan bukan karena bersalah. Menurut Gosita (2001) kompensasi ini merupakan uluran tangan negara sebagai perwujudan perhatian pemerintah terhadap permasalahan penduduk.

Korban atau kuasanya dapat mengajukan permohonan kompensasi dan bukti pelaksanaannya kepada Menteri Keuangan setelah menerima permohonan dari korban atau kuasanya paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan memberikan kompensasi tersebut. Pengertian kompensasi dalam UU No.15 tahun 2003 adalah penggantian yang bersifat materiil dan immateriil. Soeharto (2007) memberikan bagaimana proses pelaksanaan pemberian kompensasi kepada para korban. Pelaksanaan pemberian kompensasi oleh Menteri Keuangan dilaporkan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut, dengan disertai tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi dimaksud dan untuk korban atau ahli warisnya akan mendapat salinan tanda bukti pemberian kompensasi tersebut.

Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti dari pelaksanaan pemberian kompensasi tersebut, kemudian Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian kompensasi pada papan pengumuman pengadilan dimana perkara tersebut diputuskan. Bilamana sampai batas waktu 60 (enam puluh) hari telah lewat dan korban atau ahli warisnya belum menerima kompensasi maka korban atau ahli warisnya dapat melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri dan selanjutnya pengadilan atas laporan korban atau ahli warisnya segera memerintahkan untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung seja tanggal perintah tersebut diterima. Soeharto (2007) menambahkan bahwa dalam UU No.15 Tahun 2003 tidak dicantumkan tentang berapa besarnya kompensasi yang harus diterima oleh korban, demikian pula tentang perincian apakah seorang yang meninggal dunia dan orang cacat akan mendapatkan kompensasi yang sama serta adanya kerugian-kerugian materiil yang lain, misalnya rumah yang hancur, mobil, atau kendaraan yang rusak diakibatkan adanya tindak pidana terorisme. Termasuk ke dalam pengertian kompensasi dalam UU No.15 tahun 2003 adalah penggantian yang bersifat immateriil tetapi sekali lagi dalam undang-undang ini tidak menentukan bentuk kerugian immateriil yang bagaimana yang akan diberikan berikut nominalnya.

UU No.15 Tahun 2003 sebagaimana layaknya produk undang-undang lainnya, dalam menentukan besarnya masing-masing kerugian materiil dan immateriil akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah sehingga tidak mencantumkan ketentuan tersebut dalam pasal-pasal pemberian kompensasi tersebut. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan karena pemerintah mendapat kebebasan sesuai dengan kemauannya sendiri untuk menentukan kriteria dan besarnya kompensasi terhadap korban.

3. Pendampingan

Korban harus mendapatkan pendampingan medis, psikologis, maupun sosial yang layak baik melalui pemerintah, sukarelawan maupun swadaya masyarakat. Hak pendampingan pada dasarnya merupakan hak yang serupa dengan rehabilitasi, yaitu hak yang diberikan kepada korban untuk mengembalikan kondisi korban kembali seperti semula, baik itu kondisi fisik atau medisnya, maupun kondisi mental atau psikologisnya serta rehabilitasi terkait dengan kehidupannya di masyarakat yaitu dalam bersosialisasi.

Sedangkan mengenai hak-hak korban lainnya sebagai hak-hak yang melengkapi, adalah:

1. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan atau partisipasi dan peranan si korban dalam terjadinya kejahatan ;

2. Korban berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya);

3. Korban berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban beninggal dunia karena tindakan tersebut ;

4. Korban berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi ;

5. Korban berhak mendapat kembali hak miliknya ;

6. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya ;

7. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi ;

8. Korban berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum ;

9. Korban berhak mempergunakan upaya hukum (Rechtsmiddelen).

selain itu juga yang merupakan hak-hak para korban kejahatan di Amerika Serikat adalah :

1. Hak untuk turut serta dalam sistem peradilan kriminal ;

2. Hak untuk memperoleh dana yang disediakan oleh pemerintah sebagai kompensasi korban kejahatan ;

3. Hak untuk menerima restitusi yang diperintahkan oleh peradilan kriminal ;

4. Hak untuk mendapatkan keputusan atas tindakan sipil terhadap kriminalitas, tindakan yang melanggar hukum kecerobohan pihak ketiga ;

5. Hak untuk bebas dari intimidasi ;

6. Hak untuk mendapatkan keuntungan dari eksploitasi versi kejahatan suatu tindak pidana ;

7. Hak untuk mencari alternatif penyelesaian masalah ;

Berbicara mengenai hak tentunya tidak terlepas dari kewajibannya, dimana kewajiban korban kejahatan adalah :

1. Korban tidak diperkenankan melakukan tindakan pembalasan (main hakim sendiri) ;

2. Korban wajib berpartisipasi dengan masyarakat untuk mencegah bertambahnya jumlah korban lebih banyak lagi ;

3. Korban wajib Mencegah kehancuran si pembuat korban, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain ;

4. Korban berkewajiban untuk ikut serta membina pembuat korban (pelaku tindak pidana) ;

5. Korban berkewajiban untuk dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi di kemudian hari ;

6. Korban Tidak diperkenankan untuk menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban ;

7. Korban berkewajiban memberikan kesempatan kepada pembuat korban untuk memberikan kompensasi bagi pihak korban sesuai dengan kemempuannya (mencicil secara bertahap atau imbalan jasa) ;

8. Korban wajib menjadi saksi apabila dibutuhkan dan tidak membahayakan diri sendiri serta terdapat jaminan hukum dan perlindungan atasnya.

Demikianlah beberapa macam hak dan kewajiban pihak korban yang perlu mendapat perhatian untuk dipertimbangkan manfaatnya diatur dalam peraturan perundang-undangan demi keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan rakyat. Hak dan kewajiban korban ini bisa didapatkan oleh para korban jika mereka (korban) memiliki kesadaran hukum yang cukup. Hal tersebut harus pula didukung oleh sosialisasi dari pemerintah akan hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar