Selasa, 22 Februari 2011

Mengenal Konsep Bantuan dan Perlindungan Hukum di Indonesia

Istilah bantuan hukum terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya, yaitu:

1. Pasal 35 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.14 Tahun 1970).
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.

2. Tap MPR No.IV/MPR/1978 tentang GBHN, “membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan masyarakat kurang mampu”.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa istilah bantuan hukum harus mengarah kepada kenyataan sosial masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan bantuan hukum harus didasarkan pada beberapa konsep pemikiran, sebagai berikut:

1. A Juridical Right

Bantuan hukum yang berlaku di Eropa memiliki sifat yang individual, dimana konsep ini memungkinkan seseorang untuk dapat menerima bantuan hukum, dan bilamana seseorang tidak mampu maka orang tersebut akan memperoleh bantuan hukum secara prodeo. Dalam konsep ini, yang terjadi adalah bantuan hukum hanya sekedar bantuan hukum. Tidak akan ada suatu perubahan sosial yang mendasar. Masyarakat akan tetap selalu berada dalam struktur yang “injustice”. Masyarakat kaya akan tetap kaya, dan masyarakat miskin akan tetap miskin.

2. A Walfare Right

Bantuan hukum yang berlaku di Amerika Serikat yang berada di bawah “Criminal Justice Act” dan “Economic Opportunity Act”. Bantuan hukum menurut kedua Undang-Undang tersebut adalah suatu bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan (ekonomi) bagi seluruh masyarakat.

Dari kedua konsep pemikiran tersebut diatas, maka bantuan hukum mempunyai 3 pengertian, yaitu:

1. Bantuan hukum dalam arti sempit

Bantuan hukum yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara, yang diberikan secara cuma-cuma, khususnya bagi mereka yang tidak mampu dari segi ekonomi.

2. Bantuan hukum sebagai Legal Assistance

Hal ini dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, maupun pemberian bantuan hukum oleh para advokat, pengacara dengan imbalan jasa berupa “honorarium”.

3. Bantuan hukum sebagai Legal Service

Apabila hal ini dihubungkan dengan permasalahan litigasi, maka pengertian ini sebenarnya tidak menggambarkan pengertian bantuan hukum. Pengertian ini dapat diterima sebagai pelayanan hukum, bila bantuan hukum tersebut berhubungan dengan konsultasi hukum dan penyuluhan hukum.

Selain pengertian-pengertian tersebut, dikenal pula istilah “Public Defender” (pembela hukum), yang menurut Prof. Moelatno, SH merupakan suatu panggilan atau sebutan untuk para pejabat di Amerika Serikat yang ditugaskan pemerintah guna memberikan secara cuma-cuma bagi orang-orang yang tidak mampu membiayai sendiri seorang ahli hukum sebagai pembelanya.

Adapun beberapa pengertian lain terkait bantuan hukum dapat kita lihat di bawah ini, menurut:

1. Seminar Pembinaan Profesi Hukum

“Pengertian bantuan hukum terdiri dari bantuan hukum di dalam dan di luar pengadilan”. Pengeritan bantuan hukum di dalam pengadilan menimbulkan permasalahan Verplichte Procururstelling yang berarti hak dan kewajiban untuk mendapatkan bantuan hukum, dimana hak untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut dilayani sebagai berikut:

- Mewajibkan pengadilan untuk menunjuk secara langsung atau melalui organisasi profesi advokat untuk mendampingi atau mewakili setiap orang yang berurusan di muka pengadilan.

- Mewajibkan seseorang dari kalangan profesi hukum (advokat atau pengacara) untuk memberikan bantuan hukum sebagaimana yang dimaksud di atas.

2. Lokakarya Bantuan Hukum

Lokakarya ini mengusulkan agar bantuan hukum diartikan sebagai pelayanan hukum yang diberikan secara cuma-cuma. Pemberi bantuan hukum adalah perseorangan baik seorang sarjana hukum maupun pengacara-pengacara hukum serta badan-badan atau lembaga-lembaga yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.

3. Santosa Poedjosoebroto

Mengutip pendapat K. Smith dan D.J Keenan, Santoso Poedjosoebroto berpendapat bahwa:

“Bantuan hukum atau legal aid adalah bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari seseorang yang berperkara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu secara ekonominya sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seseorang yang diberi kuasa tersebut yaitu pembela atau pengacara”.

Berdasarkan keseluruhan pengertian yang diberikan diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jelaslah pemberian bantuan hukum hendaknya diarahkan kepada pemuasan rasa keadilan masyarakat secara luas, jangan hanya kepada sekelompok kecil orang saja. Apalagi mayoritas masyarakat di Indonesia secara ekonomi masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan dan masih banyak juga masyarakat Indonesia yang buta terhadap hukum.

Sedangkan mengenai perlindungan hukum itu sendiri, pada dasarnya juga merupakan suatu hak asasi setiap individu yang sudah sepantasnya pula dijamin di oleh UUD dan menjadi tanggung jawab daripada negara untuk melaksanakannya. Oleh karena itu perlindungan hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan-peraturan yang memberi pengakuan atas serangkaian hak yang wajib dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan harkat dan martabatnya yang hakiki. Terkait mengenai dasar hukum daripada perlindungan hukum itu sendiri, dapat kita temui di dalam beberapa hukum positif yang berlaku di Indonesia pada saat ini, dimana dapat kita lihat antara lain sebagaimana berikut:

1. UUD Republik Indonesia Tahun 1945 ;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan ;

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ;

4. Undang-Undang Nomr 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jo. Keppres RI Nomr 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM ;

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia; dll.

Meskipun perlindungan hukum secara implisit sudah tertuang diberbagai peraturan perundang-undangan, tentu saja tidak serta merta dapat terimplementasikan dengan sendirinya. Karena, sesungguhnya masih diperlukan beragam kegiatan dan desakan dari berbagai pihak terhadap aparatur hukum agar dengan secara sukarela maupun dengan terpaksa dapat mengimplementasikan peraturan-peraturan tersebut. Di samping itu faktor pengetahuan dan pemahaman terhadap beragam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan bantuan dan perlindungan hukum menjadi sangat relevan dan urgen. Jelasnya faktor kesadaran dan pemahaman terhadap ketentuan yang terkait dengan bantuan dan perlindungan hukum yang tercantum di dalam berbagai regulasi tersebut dapat menjadi faktor determinan bagi penerapan regulasi tersebut. Di sinilah letak relevansi bantuan hukum dengan aspek perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum menjadi suatu mekanisme penjaminan yang menjamin terlaksananya proses bantuan hukum yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan baik terhadap terdakwa atau tersangka maupun terhadap korban tindak pidana.

Terkait pengaturannya dalam hukum positif, berbeda dengan apa yang telah diatur di dalam konstitusi di beberapa negara lain seperti dan negara lainnya India, Filipina, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara lainnya yang telah secara tegas mencantumkan hak untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam konstitusi negaranya masing-masing. Di dalam UUD 1945 tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal batang tubuhnya mengenai hak untuk mendapatkan bantuan hukum ini.

Meskipun Indonesia tidak secara tegas mencantumkan dalam konstitusinya mengenai konsep pemberian hak untuk mendapatkan bantuan hukum, namun dengan adanya pasal 34 jo. 28D UUD 1945 mengenai asas persamaan di muka umum, maka asas ini mempunyai korelasi yang sangat erat dengan asas penunjangnya yaitu asas mendapatkan bantuan hukum. Tidak dicantumkannya asas mendapatkan bantuan hukum dalam UUD 1945 dikarenakan biar bagaimanapun sifat dari suatu batang tubuh sebuah konstitusi negara cukuplah hanya dengan memuat asas-asas dasarnya saja dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang diinginkan oleh suatu negara.

Diberikannya hak mendapatkan bantuan hukum oleh negara sebagai suatu konsekuensi logis dari diberikannya hak-hak tertentu oleh rakyat kepada negara, maka pemerintah berkewajiban untuk bukan saja melindungi setiap warga negaranya terhadap sesama warga negara, yakni orang yang satu dengan orang yang lain, tetapi juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negara oleh negara atau pemerintah itu sendiri.

KUHAP dalam penjelasan umumnya mengkritik HIR karena belum memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Untuk menegaskan bahwa KUHAP berbeda dengan HIR maka HAM mendapat porsi yang besar dalam pengaturan pasal-pasalnya. Pasal 54 KUHAP, menggariskan guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk didampingi oleh seorang atau lebih penasehat hukum. Bahkan pada perkara-perkara dengan ancaman hukuman tertentu penunjukkan penasehat hukum guna mendampingi pembelaan seorang tersangka adalah wajib sifatnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan dirubah kembali dengan UU No. 4 Tahun 2004, melalui Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 , memberikan kesempatan kepada tersangka atau terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam menjalani proses pidana.

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia , Pasal 18 ayat (4), menyatakan bahwa “setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Sangat disayangkan UU ini tidak memberikan ancaman sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran terhadap hak mendapatkan bantuan hukum tersebut, sehingga membuat pasal tersebut sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 54 KUHAP.
Di Indonesia untuk mendapatkan bantuan hukum harus diupayakan pemenuhannya, baik oleh tersangka atau terdakwa sendiri yang didasarkan pada Pasal 54 KUHAP, ataupun pemenuhannya dilakukan oleh Negara yang didasarkan pada Pasal 56 KUHAP. Namun sekali lagi, permasalahan mengenai bantuan hukum di dalam kancah perundang-undangan nasional, baik itu KUHAP maupun undang-undang lainnya yang berkenaan tidak pula mengatur mengenai bantuan dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana, jangankan bagi korban tindak pidana bagi seorang tersangka atau terdakwa yang tidak lain merupakan pelaku (kriminal) tindak pidana sekalipun permasalahan bantuan hukum bagi mereka kerap kali menjadi masalah, baik di dalam persidangan maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, dengan berkembangnya problematika hukum tersebut dimana bantuan dan perlindungan hukum tidak hanya dibutuhkan bagi seorang terdakwa atau tersangka tetapi juga sangat dibutuhkan bagi para korban tindak pidana, karena pada dasarnya bantuan hukum bagi mereka sangatlah penting untuk menjamin terpenuhinya hak-hak mereka, serta terciptanya rasa keadilan.

Maka dari itu, sudah sepantasnya pemerintah menerapkan undang-undang baru yang membahas dan mengatur permasalahan bantuan dan perlindungan hukum ini secara khusus dan mendetail baik di dalam lingkup teoritis maupun praktik. Berbicara mengenai hal tersebut, saat ini para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memang sedang membahas mengani Rancangan Undang-Undang (RUU) Bantuan Hukum, akan tetapi sangat disayangkan hingga saat ini RUU tentang bantuan hukum masih juga belum disahkan, bahkan RUU ini tidak termasuk ke dalam 284 Daftar Rancangan Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005-2009 . Padahal terbentuknya UU tentang Bantuan Hukum ini telah diamanatkan oleh UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman Pasal 38, yang menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan Pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka Menteri Kehakiman pada saat itu telah mengeluarkan, Surat Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan bantuan Hukum, Tanggal 1 Juni 1980 yang diubah dengan Surat Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.01.UM.08.10 Tahun 1981 Tentang Perubahan dan Perbaikan SI Menteri Kehakiman Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum.

Surat Instruksi Menteri Kehakiman tersebut di atas dalam perkembangannya kemudian dirubah kembali dengan Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: M.01-UM.08.10 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu melalui lembaga bantuan hukum, dan disempurnakan kembali dengan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-UM.08.10 Tahun 1996.

Di dalam bagian menimbangnya, surat keputusan ini menyatakan bahwa dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan, perlu adanya pemerataan bantuan hukum khusus bagi mereka yang tidak atau kurang mampu. Pasal 1 ayat (2) “bantuan hukum diberikan kepada tertuduh yang tidak atau kurang mampu dalam perkara pidana:

1. Yang diancam dalam pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati.

2. Yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun, tetapi perkara tersebut menarik perhatian masyarakat”.

sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) “dalam hal tertuduh menyatakan bahwa ia tidak atau kurang mampu untuk membiayai pemberi bantuan hukum, maka disyaratkan adanya surat keterangan dari pejabat yang berwenang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku (antara lain kepala desa, camat, kepala kepolisian, kepala kejaksaan negeri, dan kepala kantor sosial setempat)”.

Pada tahun 1999 kementrian kehakiman juga telah secara khusus, mengeluarkan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03-UM.06.02 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksaan Program Bantuan hukum Bagi Golongan Masyarakat Yang Kurang Mampu Melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Melihat substansi dari pada ketentuan-ketentuan diatas, sangat disayangkan bahwa saja ketentuan-ketentuan tersebut masih dirasa belum sempurna dan tidak memenuhi rasa keadilan dalam konteks hubungannya dengan korban, karena tidak adanya pengaturan bantuan dan perlindungan hukum bagi korban di dalamnya, padahal korban lah yang sejatinya lebih membutuhkan bantuan dan perlindungan hukum tersebut untuk mendapatkan hak-haknya seperti hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar